REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Literasi digital merupakan isu yang saat ini menjadi perhatian para pemangku kepentingan di Indonesia. Hal ini diakibatkan angka penetrasi internet di Indonesia yang semakin meningkat dan berbanding lurus dengan peningkatan penggunaan gawai/smartphone dan media sosial. Akan tetapi, peningkatan ini tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang memadai.
Indeks literasi global di Indonesia masih menempati peringkat 60 dari 61 negara berdasarkan laporan yang diterbitkan UN Human Right Council pada 2016. Secara umum yang dimaksud dengan literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengomunikasikan konten/informasi dengan kecepatan kognitif maupun teknikal.
Kesenjangan antara perkembangan TIK dengan kesiapan SDM membuat dunia digital Tanah Air rentan terhadap serbuan konten negatif. Ancaman ini semakin meningkat seiring dengan situasi politik di Indonesia menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilihan anggota legislatif di tahun ini. Momen inilah yang menjadi salah satu pemicu banyaknya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.
Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman Ditjen IKP Kemenkominfo Septriana Tangkary berharap agar pengguna internet milenial lebih cerdas melihat konten. Ia mengutip hasil survei dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) yang diikuti 1.116 responden pada 2017.
Survei menunjukkan media sosial, aplikasi komunikasi, dan situs menjadi saluran tertinggi penyebaran hoaks. Masing-masing punya persentase 92,4 persen (media sosial), 62,8 persen (aplikasi chatting), dan 34,9 persen (situs).
Bentuk hoaks yang paling sering diterima berupa tulisan (62,1 persen), gambar (37,5 persen), dan video (0,4 persen). "Sebanyak 89 persen konten hoaks adalah tentang SARA. Oleh karena itu jika kita harus kritis dalam melihat konten yang tidak positif. Cari tahu dari mana sumbernya dan siapa penulisnya," ungkap Septriana saat ditemui dalam acara bertajuk Training of Trainers Digital Literacy for Internet Activist belum lama ini.
Bahkan, radio dan televisi yang selama ini kita percaya informasinya juga punya andil menyebarkan hoaks. Sebanyak 1,2 persen saluran penyebaran berita hoaks berasal dari radio dan 8,7 persen bersumber dari televisi. Menurut Septriana hoaks yang disebarkan lewat radio dan televisi berupa pemberitaan yang tidak dikroscek dulu kebenarannya.
"Bersyukur sekarang penyedia aplikasi perpesanan ada yang sudah membatasi forward pesan maksimal lima kali," ujar Septriana. Dengan demikian ia berharap penyebaran berita-berita bohong dapat lebih ditekan.