REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli neurologi dan pakar biologi molekuler Roslan Yuni Hasan menjelaskan bidang ilmu neurosains atau ilmu saraf belakangan ini kerap digunakan dalam kontestasi pemilihan presiden. Roslan yang juga akrab disapa Ryu Hasan mengatakan ilmu pengetahuan telah terbukti digunakan saat pemilihan presiden Amerika Serikat dua tahun silam dan pemilihan presiden di Brasil beberapa waktu lalu.
Ryu Hasan mengungkapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggunakan jasa ahli saraf untuk memetakan sifat orang Amerika dan memanipulasinya dengan ilmu saraf agar bisa memilihnya pada pemilihan presiden. Kubu lawan politiknya pada saat itu, Hillary Clinton, merasa amat percaya diri Trump yang berkampanye dengan banyak mengeluarkan pernyataan dan sikapnya yang kontroversial tidak akan dipilih oleh warga Amerika.
"Kalau kita lihat saat Donald Trump ngomong aneh-aneh itu, kubunya Hillary percaya diri banget itu nggak mungkin orang gila ini dipilih, ternyata dipilih," ujar Ryu.
Begitu halnya pada pemilihan presiden di Brasil yang dimenangkan oleh Jair Bolsonaro pada 28 Oktober lalu. Bolsonaro memiliki pola yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Trump pada pemilihan presiden di Amerika Serikat 2016.
Bolsonaro yang merupakan purnawirawan militer membangun narasi kampanyenya mirip seperti Trump dengan penuh kebencian dan rasialis. Presiden terpilih Brasil yang mengaku sebagai pengagum Trump tersebut juga secara terang-terangan ingin membawa pemerintahan secara diktator militer. Hasilnya, Bolsonaro yang diperkirakan tidak akan terpilih tetap memenangkan pemilu yang akan membawanya menjadi Presiden Brasil secara definitif per 1 Januari 2019.
"Mereka merumuskan cara itu dengan bukti. Mereka ambil sampel orang Amerika di tiap negara bagian, dilihat sampai tingkat kromosom, kemudian di-MRI (magnetic resonance imaging) fungsional, semua ada datanya," kata Ryu.
Data hasil penelitian tersebut kemudian digunakan sebagai acuan untuk mencari sistem di otak manusia, yang merupakan sampel dari suatu masyarakat agar bisa merespons untuk memilih suatu pilihan tertentu. Yang membuat sistem neurosains ini sukses di Amerika dan Brasil ialah kesamaan masyarakat yang begitu religius.
"Yang satu Katolik banget, yang satu evangelis banget. Sama dengan di Indonesia, Islam banget," kata dia.
Masyarakat yang religius, kata Ryu, merupakan kalangan masyarakat yang paling mudah dimanipulasi dengan menggunakan neuorosains. Dengan melihat kondisi politik saat ini di Indonesia, menurut dia, terlihat pola-pola yang sama yang dilakukan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia yang menggunakan pola seperti Trump dan Bolsonaro.
"Kayaknya suasananya sama, tapi kita nggak punya bukti itu," kata Ryu.