REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berkembangnya teknologi informasi saat ini yang merambah semua sektor industri hingga merubah budaya manusia, telah berdampak pada munculnya ancaman gangguan pada sistem informasi tersebut.
Indonesia yang ekonominya terus berkembang, dengan populasi penduduk yang tinggi dan wilayah kepulauan yang luas sangat rentan dengan ancaman serangan siber yang dilakukan peretas internasional.
Apalagi laporan Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure Coordinator Center (ID-SIRTI/CC) menyebutkan, jumlah serangan dari luar Indonesia lebih dari 205 juta serangan sepanjang 2017. Serangan paling banyak berasal dari malware.
"Penting menyadari setiap bisnis tidak pernah bisa 100 persen aman dari serangan siber," kata Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia. Tingkat toleransi risiko yang dimiliki pelaku bisnis juga berperan besar terhadap strategi perusahaan menghadapi serangan siber.
Teknologi yang selalu berubah, serangan siber juga beradaptasi dengan cepat tak mengenal batasan fisik, lokasi, dan waktu. Jadi bisnis harus memiliki strategi manajemen risiko kuat yang selaras dengan strategi bisnis lebih luas untuk memitigasi risiko di masa depan
Berdasarkan laporan Grant Thornton International Business Report (IBR) 2018 menyebut terjadi perubahan signifikan pandangan para pimpinan senior korporasi terhadap bagaimana serangan siber akan memengaruhi dan berdampak bisnis mereka.
Antara lain dampak terhadap waktu manajemen terkuras sebesar 29,9 persen. Angka ini lebih tinggi dari hasil IBR 2016 sebesar 26 persen. Kemudian dampak hilangnya reputasi 22,3 persen dan biaya penanggulangan 18,4 persen.
Adam Shrok, Managing Director of Cyber Risk Grant Thornton Amerika Serikat, menyebutkan jumlah serangan siber secara global memang belum meningkat secara dramatis seperti pada tahun lalu.
"Kami mencatat ada kenaikan serangan sebesar 6,8 persen sejak 2015. Dampaknya terhadap pendapatan usaha korporasi relatif kecil," ujar Adam dalam keterangan persnya belum lama ini.
Hal itu berdampak terjadi penurunan pendapatan korporasi sebesar 1-2 persen akibat serangan siber. Namun, serangan siber dapat terjadi setiap saat, kapan saja, dan di mana saja. Belajar dari kasus 'WannaCry' pada tahun lalu, sangat penting bagi korporasi untuk menganalisis dan menempatkan pembaruan keamanan pada komputer dan perangkat seluler.
Begitu malware berada di dalam organisasi, mereka akan segera menyebar. Jadi, penting untuk bereaksi cepat dan membatasi kerusakan yang timbul. Namun demikian, jauh lebih baik melakukan persiapan berikut pencegahan serangan siber.