REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengatakan keberadaan dark web atau situs gelap lebih berbahaya daripada Twitter, Facebook dan media sosial lainnya. Itu karena aparat sangat sulit untuk masuk dan mengantisipasinya.
"Di dark web lebih leluasa, salah satunya karena identitas anonim yang membuat sulit terlacak," kata Pratama ketika menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Rabu, terkait dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Sebelumnya, Panglima TNI di Jakarta, Selasa (17/7) mengatakan bahwa telah muncul kelompok baru bernama "Cyber Narcoterorism" yang menggunakan dunia maya sebagai wahana untuk mengedarkan dan menyalahgunakan narkotika, kemudian hasilnya untuk membiayai kegiatan terorisme.
Menurut Panglima TNI, kelompok "Cyber Narcoterorism" menggunakan beragam situs terkemuka, seperti YouTube, Twitter, dan Facebook untuk tujuan merebut pangsa pasar, penyebaran pemikiran, dorongan, perekrutan, dan berbagai informasi.
Menjawab mengenai peredaran narkoba dengan memanfaatkan media sosial, menurut Pratama, sebaiknya pihak berwenang yang menyelidiki lebih jauh terkait dengan dugaan adanya keterkaitan peredaran narkoba dan tindak terorisme.
Namun secara teknis memang peredaran narkoba lewat media sosial maupun platform internet lain sangat memungkinkan. Apalagi, media sosial memberikan banyak tools. Misalnya, di Facebook para pengedar bisa membuat grup FB yang tertutup dan nama palsu. Mereka bisa mengendalikan pasar dari sana.
"Di Twitter juga bisa. Dengan kode tertentu, mereka bisa menyeleksi akun yang akan di-invite (undang) ke akun mereka. Bisa saling direct message (DM) dan mention dengan kode," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Menyinggung kembali situs gelap, Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) menegaskan bahwa dark web tidak hanya untuk peredaran narkoba, tetapi banyak tindakan kriminal lainnya, seperti jual beli senjata, bahkan perdagangan manusia.
Upaya mengantisipasinya, menurut Pratama, adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia di ranah siber agar para pelaku teror maupun pengedar narkoba makin kesulitan bergerak.