REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Ahli ilmu kelautan dan perikanan di Ambon, Gino V. Limmon memiliki gagasan untuk merehabilitasi terumbu karang. Dia menilai membangun karang buatan (artificial reef) dengan pembibitan planula adalah solusi tepat untuk merehabilitasi kerusakan terumbu karang. Sebab, cara tersebut ramah lingkungan.
"Transpalantasi terumbu karang secara teknologi sudah keliru karena karang membentuk terumbu, analoginya seperti pohon membentuk hutan. Menurut saya, rehabilitasi karang dengan artificial reef adalah solusi yang lebih tepat," katanya, Senin (9/7).
Gino V. Limmon adalah Direktur Pusat Kemaritiman dan Kelautan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Dia pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di perguruan tinggi yang sama.
Ia mengatakan karang bukanlah tumbuhan, melainkan hewan tingkat rendah yang berkembang biak secara seksual (fertilisasi planula) dan aseksual (pertunasan dan fermentasi). Kendati bukan tumbuhan, karang bersimbiosis secara mutualisme dengan tumbuhan Zooxanthellae, dan membutuhkan sinar matahari untuk proses fotosintesis alga tersebut.
Terumbu karang dalam fungsinya merupakan tempat berlindung, mencari makan, memelihara anak dan lainnya oleh banyak organisme laut, termasuk ikan. Merehabilitasi terumbu karang berperan penting untuk mengembalikan fungsi ekosistemnya seperti semula.
Dibandingkan dengan cara pencangkokan (transplantasi), membuat karang buatan dengan teknik seksual melalui proses pembibitan dinilai jauh lebih efisien karena memberikan kesempatan bagi planula (larva karang) lainnya untuk melekat di substrat dan membentuk koloni baru.
Teknik tersebut bukanlah hal baru di Indonesia, tapi masih sedikit dilakukan di perairan Maluku. Sebab biaya yang diperlukan tidaklah sedikit. Karena itu lebih mudah menjaga terumbu karang dari kerusakan ketimbang merehabilitasinya.
Membangun terumbu karang buatan, telah dua kali dilakukan oleh pihaknya bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, di perairan Desa Hila, Kecamatan Leihitu dan Pulau Bair, Kota Tual pada setahun lalu.
Prosesnya dimulai dengan membuat batu karang buatan berbahan konkret terbuat dari campuran semen dan pasir, kemudian membibitkan planula di atasnya selama setahun, prosesnya terbilang lama tapi membantu percepatan pertumbuhan karang di laut.
"Pembibitan membutuhkan waktu lama tapi membantu percepatan pertumbuhan karang. Di atas terumbu karang buatan, kami melakukan sedikit transplantasi lalu dibawa ke lokasi rehabilitasi untuk memberi kesempatan terumbu karang yang baru menyesuaikan diri dengan kualitas perairan yang baru setelah itu baru disebarkan," katanya.
Dikatakannya lagi, pada dasarnya membuat terumbu karang buatan maupun transplantasi karang adalah seperti membangun struktur habitat baru yang sama fungsinya dengan terumbu karang asli, sehingga ketika disebarkan bisa digunakan oleh organisme laut.
Hanya saja proses transplantasi atau memperbanyak karang dengan cara aseksual memakan waktu yang lebih lama, sebab laju pertumbuhannya hanya satu centimeter per tahun. Selain itu, hasilnya pun bisa saja gagal dan tidak ramah lingkungan.
Untuk menumbuhkan karang, setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria yang menjamin kelangsungan hidupnya. Misalnya air bersedimentasi rendah, substrat yang keras, suhu yang berkisar antara 23 - 30 derajat celcius dan kadar garam atau salinitas antara 30 - 35 per mil.
Seringkali sedimentasi menjadi masalah utama dalam proses pertumbuhan karang. Partikel-partikel sedimen dapat menghambat masuknya cahaya matahari ke dalam laut, menutupi polip karang, juga menghambat penyebaran gamet dan pelekatan planula.
"Jika melakukan transplantasi karang misalnya untuk 10 hektare, bisa dibayangkan berapa ribu patahan karang sehat yang dibutuhkan. Belum lagi terhitung terjadi stres saat diikat, disemen dan kemudian dibawa ke lingkungan baru. Patahan karang yang tumbuh sehat di satu perairan belum tentu bisa tumbuh di perairan lainnya," ujarnya.