REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Tiga perempat dari konsumen Indonesia melakukan pembelian secara daring. Kategori produk yang mereka beli secara daring biasanya adalah produk travelling, makanan dan minuman, juga elektronik.
Namun, dengan konsumen yang terus mencari kemudahan, eksposur terhadap tingkat penipuan kemungkinan akan meningkat. Hal ini berdasarkan temuan dari Digital Consumer Insights 2018 yang dilakukan oleh perusahaan layanan informasi, Experian, yang bekerja sama dengan riset pasar ICT dan perusahaan penasehat terkemuka IDC.
Laporan Digital Consumer Insights 2018 berdasarkan sebuah survei konsumen yang dilakukan di 10 pasar APAC, termasuk Australia, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Laporan ini menemukan bahwa tingkat kenyamanan dan penipuan saling memengaruhi.
Dengan pertumbuhan platform interaksi dan transaksi yang lebih nyaman seperti pembayaran tanpa gesekan, serta tujuan bekelanjutan untuk memberikan pengalaman yang lebih baik dan mudah kepada konsumen, peluang untuk penipuan justru meningkat. “Indonesia adalah salah satu pasar e-commerce yang pertumbuhannya paling cepat di dunia, dengan 74 persen dari responden pernah melakukan pembelian online,” ujar Dev Dhiman, Managing Director, Southeast Asia and Emerging Markets, Experian Asia Pacific dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (26/6).
Namun, lanjutnya, tingkat penipuannya pun tinggi, dengan rata-rata 25 persen orang Indonesia pernah mengalami tindak penipuan melalui berbagai macam e-commerce dan layanan, sementara sekitar sepertiga (35 persen) dari mereka yang berpikir untuk mengganti penyedia layanan jasa ketika terjadi penipuan.
“Kami juga menemukan bahwa semakin tinggi eksposur terhadap tindak penipuan akan menyebabkan konsumen lebih memilih untuk mengadopsi langkah-langkah keamanan yang mudah digunakan seperti biometrik–yang akan memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk memastikan pengalaman yang lebih mudah kepada para konsumennya sambil mengelola tindak penipuan.”
Ia menambahkan, 11 persen dari orang Indonesia terindikasi bahwa mereka bersedia untuk mengadopsi biometrik (contohnya, sidik jari dan pengenal wajah) dalam aplikasi komersial. Dalam hal ini, Indonesia menduduki peringkat kelima, setelah negara-negara berkembang lainnya seperti India, Cina, Vietnam, dan Thailand.