Senin 28 May 2018 13:53 WIB

4 Aplikasi Ini Dituduh Langgar UU Perlindungan Data Eropa

GDPR adalah undang-undang baru yang dibuat untuk transparansi kepada konsumen

Rep: shelbi asrianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Facebook (ilustrasi)
Foto: AP
Facebook (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sederet media sosial populer dituduh melanggar undang-undang perlindungan data yang berlaku di Eropa. Regulasi bernama General Data Protection Regulation (GDPR) itu mengatur bagaimana perusahaan dapat mengumpulkan dan menggunakan data pribadi pengguna layanan.

Keluhan pelanggaran ditujukan secara resmi kepada Facebook, Google, Instagram, dan WhatsApp pada Jumat (25/5) silam. Pihak pelapor adalah noyb.eu, kelompok kampanye privasi yang berbasis di Eropa di bawah pimpinan aktivis privasi Austria Max Schrems.

Para raksasa teknologi itu diprotes melanggar hukum karena cara mereka mendesak pengguna menyetujui kebijakan privasi. Hal yang menjadi masalah adalah ketika ada 'ancaman' akun pengguna akan dinonaktifkan jika tidak menyetujui informasi dikumpulkan sesuai kebijakan masing-masing perusahaan.

"Facebook bahkan memblokir akun pengguna yang belum memberikan persetujuan. Pada akhirnya, pengguna hanya memiliki pilihan untuk menghapus akun atau menekan tombol 'setuju'. Itu bukan pilihan bebas, tapi mengingatkan pada proses Pemilu Korea Utara," kata Schrems.

GDPR adalah undang-undang baru yang dibuat untuk memberikan transparansi kepada konsumen tentang bagaimana informasi mereka digunakan. Perusahaan yang melanggarnya dapat dikenai hukuman dengan denda maksimum hingga 20 juta euro.

Dengan adanya UU baru, bukan berarti perusahaan tidak lagi dapat menggunakan data pelanggan. GDPR secara eksplisit memungkinkan pemrosesan data apa pun yang sangat diperlukan untuk layanan, tetapi dilarang menggunakan data tambahan untuk iklan atau menjadikan persetujuan sebagai keharusan.

"Ini sangat sederhana: apa pun yang benar-benar diperlukan untuk layanan tidak perlu menanyakannya lagi pada kotak persetujuan. Sementara, untuk hal-hal lain, pengguna harus memiliki pilihan nyata antara 'ya' atau 'tidak'," ucap Schrems, dikutip dari laman Telegraph.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement