REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski tujuh tahun telah berlalu, krisis Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, Jepang ternyata masih mengancam wilayah sekitar. Studi menyebutkan ruang penyimpanan air mengalami kondisi berbahaya.
Dilansir melalui Dailymail, pemerintah tengah berusaha mengamankan hampir 160 ton air yang terkontaminasi radioaktif. Pemilik pabrik Tokyo Electric Power Company (Tepco) memutuskan untuk membuang air tersebut ke laut.
Berdasarkan laporan, Tepco berencana mengamankan 1,37 juta ton kapasitas penyimpanan pada akhir 2020. Namun perusahaan belum memutuskan untuk setahun berikutnya. Pada pertemuan komite Fukushima pekan lalu, Kepala Bagian Proses Dekomisioning Tepco Akira Ono mengatakan, tidak mungkin untuk terus menyimpan air yang telah diolah secara terus menerus.
Kemudian dalam sebuah pertemuan, komite ahli yang dibentuk Kementerian Perindustrian Jepang mendiskusikan pembuangan limbah terkontaminasi ke Samudera Pasifik. Berdasarkan laporan media masa lokal setempat, salah seorang anggota komite mengatakan bahwa untuk sementara industri perikanan di Fukushima dan perfektur lainnya sedang dalam proses pemulihan.
Sementara itu anggota komite lainnya berujar bahwa untuk memajukan dekomisioning harus dilakukan dengan mengurangi jumlah tangki. Di sisi lain, jumlah tangki penyimpanan air yang terkontaminasi terus bertambah di pabrik Fukushima. Pencemaran radioaktif dimulai pasca tsunami 2011 silam sehingga pabrik melepaskan bahan radiaoaktif berbahaya.
Tsunami membuat air tanah terus memasuki bangunan reaktor yang bocor, dan menghasilkan sekitar 160 ton air radioaktif per hari. Hal tersebut membuat air harus dikumpulkan dan disimpan dengan aman. Sementara itu sebagian kontaminan dapat dihilangkan melalui perangkat penyaring, tritium-isotop radioaktif nitrogen. Namun senyawa tak bisa dihilangkan secara keseluruhan secara teknis.