REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Saat skandal bocornya sekitar 87 juta data akun Facebook ke Cambridge Analytica untuk kebutuhan politik mengemuka, publik terhenyak. Namun, kejadian itu diprediksi tak akan banyak mengubah perilaku masyarat dalam menggunakan internet.
Sejak itu, tagar #DeleteFacebook mulai jadi isu di Twitter guna mencegah pengintaian di media sosial. CEO Facebook Mark Zuckerberg bahkan dipanggil Kongres AS untuk memberi penjelasan.
Namun, kejadian ini belum tentu mengubah perilaku masyarakat dalam berinternet. Para ahli menduga, masyarakat saat ini melihat isu privasi mulai usang.
Ahli perilaku ekonomi dari Carnegie Mellon University di Pittsburgh, George Loewenstein menduga kasus Facebook dengan Cambridge Analytica tak akan banyak mengubah perilaku masyarakat. Sebab, ada data perusahaan besar yang juga bocor dan masyarakat tenang-tenang saja.
"Ini cuma seperti anak kecil yang menangis sebentar karena takut melihat gambar serigala," kata Loewenstein seperti dikutip Live Science pada Ahad (15/4).
Sebuah studi yang dilakukan pada 2012 juga menunjukkan gejala yang mirip. Dalam riset itu, 10 rumah dipasangi kamera pengawas, mikrofon, dan beberapa alat pengintai lain. Mereka sadar ada keterbatasan privasi dalam beberapa bulan saja.
"Peretasan data ini diduga akan menimbulkan reaksi negatif karena dianggap kelewat batas, yang terjadi nampak justru sebaliknya," kata Loewenstein.
Meski begitu, Loewenstein menyarankan beberapa hal.
"Mengubah kebijakan internal Facebook tak akan banyak memberi perubahan, harus ada intervensi pemerintah," kata Loewenstein.
Para pengguna Facebook di Uni Eropa sendiri menginginkan hal itu. Sehingga regulator Uni Eropa akan mengetatkan kebijakan media sosial mulai Mei mendatang, termasuk syarat menjabarkan data apa saja yang akan kanal media sosial bagi dengan pihak ke tiga.
Facebook sendiri menyatakan kebijakan semacam itu tak akan mereka terapkan di seluruh tempat.