Selasa 13 Mar 2018 10:09 WIB

Hoaks Lebih Cepat Tersebar daripada Kebenaran

Berita palsu lebih sering dikicaukan ulang oleh manusia daripada bot.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Winda Destiana Putri
Hoax. Ilustrasi
Foto: Indianatimes
Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Massachusetts Institute of Technology melakukan studi terhadap penyebaran 124 ribu rumor dan berita palsu atau hoaks selama 11 tahun. Hasil yang didapatkan menyatakan bahwa penyebaran tersebut menjangkau lebih banyak orang daripada kabar benar.

Periset Massachusetts Institute of Technology melakukan riset tersebut melalui penyebaran dari Twitter. Mereka menemukan bahwa berita palsu lebih sering dikicaukan ulang oleh manusia daripada bot atau program komputer.

Alasan manusia lebih senang menyebarkan hoaks karena informasinya lebih mudah diserap seperti novel. Tentu saja, berita seputar politik menjadi asupan utama hoaks yang disebarkan, dilanjutkan legenda perkotaan, bisnis, terorisme, sains, hiburan dan bencana alam.

Twitter menyatakan kepada BBC bahwa mereka telah terlibat membuat rancangan yang bisa menahan penyebaran itu ke publik. Perusahaan itu mengecek untuk melihat kebenaran informasi yang disebarkan.

"Berita palsu lebih baru dan orang lebih cenderung untuk berbagi informasi baru," kata salah satu rekan penulis studi Profesor Sinan Aral, dikutip dari BBC, Selasa (13/3).

Selain itu, hoaks pun cenderung memberikan informasi yang lebih mengejutkan daripada berita benar. Dengan keadaan itu, mungkin menjadi pendorong banyak orang untuk menybarkan kepada orang lain.

Tim tersebut menggunakan enam sumber pemeriksaan fakta independen, termasuk Snopes dan Urbanlegend, untuk mengidentifikasi apakah cerita dalam penelitian tersebut asli. Fakta dari hal tersebut menyatakan bahwa 70 persen hoaks lebih mungkin dikicaukan ulang daripada kisah nyatanya.

Di samping itu, jurnal yang sudah dipublikasikan Science itu menyatakan, kisah sebenarnya jarang dibagikan mencapai 1.000 orang. Namun, hoaks paling populer bisa mencapai 100 ribu orang.

"Orang ingin berbagi informasi yang layak diberitakan dalam beberapa hal nilai kebenarannya kurang memprihatinkan," kata psikolog Prof Geoffrey Beattie dari Edge Hill University di Lancashire.

Prof Beattie menjelaskan, jika rumor tersebut sangat legit maka akan banyak orang membagikan, tanpa peduli tentang kebenarannya. Bahkan, mereka tidak akan mencapai pemikiran apakah berita tersebut masuk akal atau tidak. Sebab, mereka cenderung jenuh dengan berita biasa sehingga perlu sesuatu yang mengejutkan, menjijikkan, dan dapat menarik perhatian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement