Selasa 27 Feb 2018 06:51 WIB

Studi: Makanan Cepat Saji Berkaitan dengan Kanker

Makanan dengan proses cepat seringnya memiliki daftar panjang akan zat aditif

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Winda Destiana Putri
Makanan cepat saji pemicu kanker. Ilustrasi
Foto: The Guardian
Makanan cepat saji pemicu kanker. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah makanan 'ultra-processed' atau yang cepat disajikan kebanyakan dibuat di pabrik dengan bahan-bahan yang tidak dikenal oleh dapur rumahan. Sebuah studi dan terobosan terbaru menyatakan hal ini kemungkinan memiliki hubungan dengan kanker.

Makanan dengan proses cepat termasuk makanan siap saji, kue kering, dan kembang gula seringnya memiliki daftar panjang akan zat adiktif, pengawet, perasa, dan perwarna, serta kadar gula, lemak, dan garam yang tinggi. Makanan-makanan ini diperhitungkan untuk dibeli oleh setengah keluarga yang memilih untuk makan di rumah di Inggris, seperti yangbaru-baru ini dilaporkan oleh Guardian.

Sebuah tim yang dipimpin oleh periset yang berbasis di Sorbonne di Paris melihat catatan medis dan kebiasaan makan hampir 105.000 orang dewasa yang menjadi bagian penelitian kohort NutriNet-Sante Prancis. Tim ini juga membuat catatan mengenai asupan makanan yang selalu diambil mereka sebanyak 3.300 jenis yang berbeda.

Tim ini lalu menemukan bahwa dalam peningkatan 10 persen jenis makanan olahan cepat saji yang diperoleh memiliki keterkaitan dengan peningkatan 12 persen jenis kanker. Para periset juga melihat apakah ada peningkatan pada jenis kanker tertentu dan menemukan adanya kenaikan 11 persen pada kanker payudara dan tidak ada peningkatan yang signifikan pada kanker kolorektal atau prostat.

"Jika hasil ini dikonfirmasi di populasi dan pengaturan lainnya, maka hasil ini menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan olahan dapat meningkatkan risiko kanker kedepannya," ujar tim dalam jurnal British Medical.

Perancis sendiri adalah salah satu dari sedikit negara yang secara khusus telah memberikan peringatan kepada masyarakatnya akan bahaya makanan ultra-processed ini. Makanan olahan ini sebelumnya telah disangkut pautkan dengan risiko obesitas, namun untuk kanker ini adalah penemuan baru.

"Hasil yang kami dapatkan sangat konsisten dan cukup menarik. Tetapi kita harus berhati-hati. Ini adalah studi pertama dan kita seharusnya lebih berhati-hati. Hasil ini juga masih harus dikonfirmasi dalam penelitian perspektif lainnya," ujar Mathilde Touvier selaku penulis utama penelitian tersebut dilansir dari Guardian.

Makanan dengan olahan ekstra addalah sebuah definisi yang dibuat oleh sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof Carlos Monteiro di Brazil. Brazil juga merupakan negara yang memeiliki panduan diet nasional yang mendesak rakyatnya untuk mengonsumsi makanan jenis tersebut sesedikit mungkin.

Sistem klasifikasi ini menempatkan makanan ke dalam empat kelompok, makanan mentah atau makanan dengan olahan minimal seperti benih, buah, telur, dan susu; bahan kuliner olahan seperti minyak, mentega; makanan olahan termasuk sayuran dalam kemasan, dan ikan kalengan atau keju; dan bahan terakhir yaitu ultra-proses dimana makanannya sebagian besar atau keseluruhannya berasal dari zat makanan dan aditif.

Sebuah kritik yang mengatakan makanan dengan proses ultra telah menghilangkan sebagian besar nutrisi makanan tidak dipercaya Touvier, dirinya menyatakan tidak percaya jika nilai rendah gizi dari biskuit, permen, serta kue menjadi penyebab risiko kanker yang meningkat. "Kami melakukan analisis statistik untuk mencoba melihat apakah hubungan ini dikearenakan kualitas gizi buruk dari makanan, dan hasilnya mengatakan itu tidak berhubungan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kaitan kanker dengan tingginya kadar gula, lemak, garam, atau zat aditif. Mungkin di masa depan kita bisa mendapat gagasan apakah hanya satu atau dua hal yang menjadi masalah atau semuanya," ujarnya.

Tim yang diketuai Touvier ini kini memiliki database mengenai semua aditif yang terkandung dalam makanan tertentu dengan nama dan merek komersial. Selama beberapa tahun kedepan dirinya berharap bisa mengukur paparan zat aditif ini terhadap orang-orang yang mengonsumsinya. Mereka juga akan memperlajari efeknya serta apa yang terjadi bila digabungkan dengan zat aditif lainnya.

Sementara itu seorang ilmuwan lain mempertanyakan kepraktisan mengelompokkan makanan tersebut dalam kelompok ultra-proses. "Makanan ultra-proses sangat sulit didefinisikan dalahh hal kualitas makanan dan hal ini tidak banyak digunakan oleh ilmuwan nutrisi. Dari sudut pandangnutrisi, klasifikasi ini tampak sewenang-wenang dan berdasar pada premis bahwa makanan yang diproduksi secara industri memiliki komposisi nutrisi dan bahan kimia yang berbeda dari olahan di rumah. Ini bukan masalah utamanya," ujar Tom Sanders, profesor emeritus gizi dan dietetic di King's College London.

Dirinya melanjutkan pendekatan yang mengkategorikan pola makanan yang bergantung pada makanan olahan industri sehubungan risiko penyakit adalah hal yang baru, namun perlu didefinisikan lebih lanjut sebelum diterjemahkan menjadi saran diet praktis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement