REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muhammad Iqbal
Studi terkini di bidang biologi evolusi yang dituliskan The New York Times, pekan lalu, memaparkan fakta menarik. Berdasarkan penelitian sejak 1999 sampai 2015, hampir 150 ribu orang utan atau setengah dari total populasi spesies itu di Kalimantan telah lenyap.
Pemicunya, sebagaimana sudah diketahui bersama dan tidak terdengar asing lagi. Mulai dari illegal logging (penebangan liar) hingga pembukaan lahan untuk pertanian dan pertambangan. Semua itu menghancurkan habitat orang utan.
Kendati demikian, riset juga menunjukkan banyak spesies bernama latin Pongo pygmaeus ini yang hilang di kawasan hutan nan utuh. Hal itu menunjukkan perburuan dan konflik antara orang utan dan manusia tetap menjadi ancaman utama.
"Penurunan kepadatan orang utan paling parah terjadi di daerah yang mengalami deforestasi atau bertransformasi menjadi industri agrikultur. Akibatnya, orang utan berjuang keras untuk hidup di luar kawasan hutan. Namun, yang paling mengkhawatirkan, jumlah orang utan dalam jumlah besar hilang di kawasan hutan selama studi. Ini menunjukkan faktor pembunuhan turut berperan," ujar Maria Voigt, peneliti dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Jerman.
Pada bulan ini pula, tim gabungan Kepolisian Resor Barito Selatan, Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, dan Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, meringkus dua warga Barito Utara yang diduga membunuh orang utan jantan yang bangkainya ditemukan pada Senin (15/1). Polisi menilai mereka menembak orang utan berkali-kali, memenggal kepalanya, dan membuang bangkai badan spesies nahas itu ke sungai. Para pelaku saat dikonfirmasi mengklaim hanya bertindak untuk membela diri.
Orang utan, spesies yang tinggal di Kalimantan dan juga di Sumatra, merupakan spesies terancam punah (endangered species). Sejumlah kalangan bahkan menilai orang utan memiliki status critically endangered. Habitat utama mereka di Kalimantan adalah hutan hujan dataran rendah yang telah berpuluh-puluh tahun dibalak demi industri kayu, perkebunan kelapa sawit, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Untuk mengestimasi perubahan populasi orang utan Kalimantan dari waktu ke waktu, peneliti yang mewakili 38 lembaga internasional mengadakan survei lapangan antara 1999 sampai 2015. Jumlah orang utan didapat dari jumlah sarang orang utan yang ditemukan di seluruh wilayah Borneo.
Tim mengamati 36.555 sarang dan memperkirakan sekitar 148.500 orang utan lenyap selama periode itu. Data tersebut juga menunjukkan bahwa hanya 38 dari 64 kelompok orang utan yang memiliki anggota lebih dari 100 orang utan. Jumlah ini merupakan batas bawah yang disepakati para peneliti.
Untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab hilangnya populasi orang utan, peneliti mengandalkan peta berisi perubahan tutupan hutan di Kalimantan selama 16 tahun. Perbandingan antara orang utan dan hilangnya habitat menunjukkan bahwa pembukaan lahan menjadi penyebab utama di balik penurunan populasi.
Yang menarik, jumlah orang utan yang lenyap di area yang penebangan liar dan deforestasinya lebih sedikit. Sementara tambahan tutupan hutan berarti semakin banyak orang utan yang ditemukan di dalamnya.
Sekitar tiga tahun lalu, para peneliti melaporkan sekitar setengah dari orang utan yang tinggal di Kalimantan pada 1999, sekarang ditemukan berada di area yang mana terjadi perubahan lingkungan yang signifikan. Semua akibat ulah manusia. Berdasarkan perkiraan, kehilangan tutupan hutan dan asumsi bahwa orang utan tidak dapat survive di luar kawasan hutan, peneliti memperkirakan sekitar 45 ribu orang utan akan mati dalam 35 tahun ke depan.
"Orang utan bersifat fleksibel dan bisa survive di sejumlah tempat seperti hutan bekas penebangan dengan catatan mereka tidak dibunuh. Jadi, selain perlindungan hutan, kita harus fokus pada penanganan penyebab pembunuhan orang utan. Yang terakhir ini membutuhkan kesadaran dan edukasi kepada masyarakat, penegakkan hukum yang lebih efektif, dan studi lebih lanjut mengapa manusia membunuh orang utan," kata Serge Wich, seorang profesor di Universitas John Moores, Inggris.