REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemakaian teknologi penyimpanan data yang memiliki karakteristik terdistribusi, aman dan tidak dapat diubah, blockchain di Indonesia dinilai masih sulit untuk dilakukan. Sebab untuk melakukannya disebut perlu mengubah tatanan bisnis.
"Saya lihat cukup sulit karena tidak hanya bicara teknologi, tetapi juga mengubah tatanan bisnis," tutur Direktur PT Computrade Technology International (CTI Group) Rachmat Gunawan di Jakarta, Selasa (20/2).
Selain tantangan dari sisi teknologi, kata dia, untuk memakai blockchain diperlukan perubahan tidak hanya organisasi, melainkan ekosistem juga. Meski begitu, Rachmat menilai penggunaan teknologi baru harus mulai dilakukan agar tidak tertinggal dengan negara lain yang telah menerapkannya.
"Mau tidak mau akan menggunakan, kalau tidak menggunakan akan ketinggalan dengan negara lain," ucap dia.
Apalagi blockchain merupakan teknologi yang terus berevolusi sangat cepat sampai sekarang misalnya Bitcoin yang menggunakan teknologi itu telah berkembang. Teknologi blockchain berkembang dan terus berevolusi dengan cepat karena dibuka untuk umum sehingga banyak orang yang melakukan riset dan berkontribusi untuk memperbaiki blockchain.
Teknologi blockchain seperti sebuah buku besar yang terdistribusi dan terbuka yang dapat merekam transaksi antara dua pihak secara efisien dan dengan cara yang dapat diverifikasi dan permanen.
Dengan karakteristiknya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, blockchain dapat diterapkan di industri kesehatan, selain keuangan. Melalui blockchain, pasien, dokter dan pihak berwenang lainnya dapat mengakses data pasien lebih cepat dan aman sehingga diagnosis dapat segera dilakukan dan lebih akurat.