REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- PT Bio Farma (Persero) saat ini sedang membuat obat kanker payudara. Penyakit itu menempati urutan nomor satu kasus kanker di Indonesia.
"Proses (pembuatan obat kanker payudara, Red) butuh waktu hingga sekitar 2022 atau 2023 untuk bisa launching," ujar Neni Nurainy, dari Research and Development PT Bio Farma, di sela acara Media Gathering dan Workshop 2018 di Desa Alamanis Resort dan Villa, Gronggong, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon, Rabu (7/2).
Peneliti senior di Bio Farma itu menyebutkan, obat kanker payudara yang sedang dibuat tersebut merupakan biosimilar dari obat paten yang sebelumnya telah ada. Dengan pembuatan biosimilar itu, maka harga obat kanker payudara yang di jual kepada masyarakat bisa lebih murah karena ada proses penemuan awal obat yang tidak perlu dilakukan.
Apalagi, lanjut Neni, kanker payudara menempati urutan pertama kasus kanker di Indonesia. Dengan diluncurkannya obat biosimilar kanker payudara itu, maka bisa meringankan beban para penderita kanker payudara.
Neni mengakui, pembuatan obat kanker payudara tersebut menggunakan mamalian cell. Namun, dia memastikan sel yang digunakan itu bukan turunan anjing dan babi.
Setelah nanti meluncurkan obat kanker payudara, Neni juga berharap bisa membuat vaksin penyakit tersebut. Untuk kasus kanker, vaksin yang sudah dikembangkan Bio Farma di antaranya berupa vaksin untuk antikanker prostat. "Tapi belum di-launching," tutur perempuan yang juga menjadi anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia itu.
Neni menambahkan, dalam mengembangkan obat, terdapat beberapa tantangan. Di antaranya berupa tantangan global, tantangan dalam negeri dan kemajuan IPTEK farmasi Indonesia.
Lebih lanjut Neni mengatakan, untuk jumlah produk obat di pasaran saat ini semakin sedikit. Pasalnya, butuh waktu sepuluh hingga 20 tahun untuk melakukan pengembangannya. "Ada ketidakpastian dikarenakan memerlukan uji klinis agar obat bisa dinyatakan aman dan berkhasiat untuk manusia," tegas Neni.
Khusus untuk tantangan dalam negeri, Neni mengatakan, pasar farmasi di Indonesia sebenarnya cenderung meningkat. Namun, alokasi biaya kesehatan di Indonesia dibandingkan GDP masih rendah karena sekitar 90 persen bahan baku untuk membuat obat di Indonesia didatangkan dari luar negeri.