REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fake news atau informasi bohong kerap hilir mudik di media sosial. Terpapar tulisan berunsur kebohongan bisa memengaruhi kepribadian seseorang. Ketika seseorang secara terus menerus mendapat bacaan mengandung unsur kebencian atau negatif terhadap suatu hal, maka bisa menciptakan rasa benci pula terhadap pembacanya.
Guru Besar Mental Health Fakultas Kesehatan University of Technology Sydney Profesor Prasuna Reddy mengatakan, fake news tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga seluruh dunia. "Di sekolah juga banyak ditemui kasus menyebarnya fake news di kalangan pelajar," ujar Prasuna saat ditemui di Jakarta dalam acara Kolaborasi Teknologi Indonesia dan Australia, Rabu (31/1).
Prasuna menjelaskan, mengurangi efek fake news pada netizen bisa dilakulan melalui media masa dengan kredibilitas tinggi. Media masa perlu membuat kolom-kolom positif. Bacaan positif akan berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang sehingga menciptakan mental bahagia. Para netizen juga dihimbau untuk selalu berbuat dan bergabung dengan hal baik.
Fake news merupakan konten yang diciptakan oleh individu yang kurang percaya diri atau iri terhadap sesuatu. "Pelakunya tidak mengidap penyakit mental, dan ini bukan gejala mental," jelas Prasuna.
Netizen juga diharapkan membina hubungan yang baik dengan lingkungannya. Hubungan baik bisa menciptakan mental bahagia sehingga membuat seseorang tidak tertarik berbohong atau menyebarkan kebohongan.