REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Super Blue Blood Moon yang akan terjadi pada hari ini tidak hanya menjadi penikmat bagi para skywatcher atau pengintai langit. Namun, fenomena langka tersebut juga akan memberi para ilmuwan kesempatan untuk menemukan beberapa karakteristik yang tidak diketahui mengenai debu di bulan, seperti kajian tentang seberapa keropos dan halusnya debu di seluruh permukaan bulan.
Pada hari ini, bulan purnama akan berada di tempat yang tepat, sehingga mengalami tiga efek. Diantaranya, pertama, bulan akan berada cukup dekat dengan bumi, sehingga penampakan bulan akan menjadi lebih besar dari biasanya yang dikenal dengan supermoon. Efek kedua, bulan purnama tersebut akan menjadi yang kedua kalinya hadir selama Januari, yang dikenal dengan Blue Moon.
Sebagai bulan purnama kedua yang terjadi dalam satu bulan, efek ketiganya, ketika bulan purnama tersebut melewati bayangan bumi, maka warnanya terlihat merah. Ketiga efek tersebut dinamakan dengan Super Blue Blood Moon.
Baca juga: Alasan Gerhana Bulan Total Dinamai Super Blue Blood Moon
Banyak masyarakat di seluruh Amerika Serikat yang menyaksikan Great American Solar Eclipse pada 2017 lalu, dimana saat dan setelah bulan tertutup sinar matahari, tanah menjadi dingin. Pada 31 Januari mendatang, hal tersebut juga akan terjadi, karena bumi menghalangi dan membungkam sinar matahari yang sebaliknya menerangi dan memanaskan bulan.
Seorang pejabat NASA mengatakan dalam sebuah pernyataan, permukaan bulan akan menjadi lebih dingin ketika terjadinya bulan purnama. Selain itu, jika periset NASA memperhatikan permukaan bulan yang dinginnya berbeda dari pada biasanya, temuan tersebut dapat memberi petunjuk kepada ilmuan tentang permukaan bulan tersebut.
"Selama gerhana bulan, temperatur akan beralih secara dramatis sehingga seolah-olah permukaan bulan beralih dari oven ke dalam lemari es hanya dalam waktu beberapa jam," kata salah satu perwakilan dari ilmuan untuk proyek Lunar Reconnaissance Orbiter NASA (LRO), Noah Petro dalam sebuah pernyataan, seperti yang dilansir di Space.com.
Petro dan timnya akan melakukan pengamatan selama Super Blue Blood Moon di Observatorium Haleakala di pulau Maui, Hawaii. Mereka akan merasakan perubahan panas di berbagai tempat di permukaan bulan, seperti wilayah yang diselimuti debu sepanjang 37 mil atau 60 km, yang dikenal dengan Reiner Gamma.
Baca juga: Penjelasan tentang Super Blue Blood Moon
Layaknya bumi, bulan juga mengalami pergantian temperatur dari panas ke dingin secara teratur, tergantung sisi mana yang terkena sinar matahari. Permukaan bulan secara teratur menghangat dan mendingin saat permukaan bergerak di antara saat mendapat sinar matahari dan saat tidak mendapat sinar matahari.
Para ilmuwan telah mempelajari proses ini sebelumnya, dan menurut NASA, informasi ini mengungkapkan banyak tentang regolith atau debu tebalyang ada di permukaan bulan yang berdebu. NASA mengatakan, perubahan dingin secara mendadak dari gerhana bulan dapat mengungkapkan karakteristik tentang bahan halus di bagian atas regolith.
"Seluruh karakter bulan berubah saat kita mengamati dengan kamera termal ketika terjadi gerhana," kata Paul Hayne, seorang peneliti dari Laboratorium Fisika Atmosfer dan Antariksa di Universitas Colorado Boulder.
"Di kegelapan (saat bulan tidak mendapat sinar matahari), banyak kawah yang familiar dan fitur lainnya tidak dapat dilihat, dan area yang biasanya tidak jelas di sekitar beberapa kawah mulai 'bersinar', karena bebatuan di sana masih hangat," tambah Paul.