REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- 40 tahun sejak kasus Ebola pertama kali merebak, mereka yang berhasil selamat masih memiliki anti bodi virus ini. Para saintis berasumsi para penyintas ini memiliki imunitas sepanjang hayat, mereka jadi harapan pengembangan penangkal Ebola saat ini.
Pada 1976, Ebola merebak di desa Yambuku, di Republik Demokratik Kongo (DRC). Dari 318 kasus, 280 orang dilaporkan tewas. Ahli epidemiologi dari University of California, Los Angeles, AS yang mengoperasikan laboratorium di Kinshasa DRC, Anne Rimoin, sempat mengunjungi Yambuku pada 2014 lalu bersama Peter Piot yang pertama kali menemukan virus Ebola. Semula ia tidak bermaksud meneliti Ebola, namun Rimoin kemudian tertarik mencari tahu tentang para penyintas Ebola pada 1976.
"Semula tak ada yang yakin para penyintas itu masih hidup," kata Rimoin yang telah bekerja di DRC selama 15 tahun, demikian dikutip Sciencemag, pekan ini.
Ia kemudian menemukan penyintas Ebola 1976 yang selamat. Para penyintas ini berusia 55-86 tahun dan bersedia memberi sampel darah mereka. Hal ini membuka peluang penelaahaan lama imunitas terhadap Ebola bisa bertahan.
''Saya sangat bersemangat dengan temuan ini. Hubungan yang baik dengan warga lokal membuat kami dapat mengakses data jangka panjang,'' kata Piot.
Pengambilan sampel darah para penyintas ini terbilang tidak sederhana di tengah ketebatasan fasilitas, namun Rimoin dan Piot berhasil melakukannya. Selain menelaah di Kinkhasa DRC, mereka juga mengirim sampel darah para penyintas ke AS untuk diuji imunologi.
Hasil riset ini menunjukkan, antibodi semua penyintas memiliki tiga protein Ebola berbeda. Empat orang di antaranya memiliki antibodi berupa protein sederhana yang bisa menetralisasi virus Ebola.
Ahli imunologi yang melakukan tes di MRIGlobal Frederick, Maryland AS, Gene Olinger mengaku terkejut dengan apa yang mereka temukan. ''Kami pikir kami akan melihat suatu respon dan tidak terpikir akan melihat antibodi yang bisa menetralkan virus ini atau respons yang kuat lainnya,'' ungkap Olinger.
Sejauh ini, tak ada laporan para penyintas ini terinfeksi Ebola untuk kedua kali. Olinger sendiri yakin, protein antibodi ini tidak bertahan dengan sendirinya. Dari percobaan yang ia lakukan pada hewan, infeksi kedua bisa terjadi dan malah membunuh hewan percobaan.
Olinger ingin mencoba studi serupa dengan menggunakan antibodi dari para penyintas Ebola 1976. Ia berharap itu bisa memberi titik terang pengembangan vaksin Ebola. Jika berhasil, vaksin itu akan memberi harapan hidup bagi 17 ribu warga Afrika barat yang terinfeksi Ebola antara 2013 hingga 2016 namun berada dalam kondisi kritis.
Tim ini tengah mengumpulkan pula sampel darah dari 40 orang penyintas Ebola di Kikwit pada 1995. Mereka berlomba dengan waktu mengingat harapan hidup warga DRC terbilang pendek, antara usia 58-62 tahun.
Virolog Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health in Baltimore, Maryland AS, Diane Griffin justru tidak terkejut dengan hal ini. Hanya saja, masih ada pertanyaan yang harus dijawab termasuk soal berapa lama imunitas ini dapat bertahan. ''Meski begitu, temuan ini laik untuk dilanjutkan dan relevan untuk pengembangan vaksin Ebola,'' kata Griffin.