Sabtu 07 Oct 2017 08:31 WIB

Kecanduan Medsos Bisa Menciptakan Iritasi Sosial

Rep: Taufiq Alamsyah Nanda/ Red: Winda Destiana Putri
Media sosial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial Devie Rakhmawati mengatakan bahwa kasus perceraian akibat media sosial sudah banyak terjadi di Amerika Serikat sejak 2010. Pada bulan Oktober ini, Pengadilan Agama Kota Bekasi dan Depok menunjukkan data bahwa angka perceraian meningkat dan mayoritas diakibatkan penggunaan media sosial.

"Ini bukan hal baru, misalnya 2010 di Amerika sudah ada survey yang dilakukan kepada pengacara, dikatakan bahwa media sosial sebagai salah satu pendorong perceraian keluarga di Amerika. Begitu juga dengan di Inggris," ujar Devie kepada Republika belum lama ini.

Devie menjelaskan, teknologi yang diproduksi di barat menyebar dengan sangat baik ke seluruh dunia. Tapi penggunaanya menyebabkan penyakit yang menyertainya. Seperti kerenggangan sosial. Salah satunya pada pasangan suami-istri. "Ya memang teknologi akhirnya membawa dampak pada interaksi antar manusia. Karena memang kalau dalam istilah saya ada 4 K, kenapa manusia begitu terikat dengan media sosial," jelasnya.

Media sosial telah menciptakan 4 arena. Pertama, kepalsuan. Di media sosial kita bisa menjadi apa pun dan siapa pun. Kita tidak perlu menunjukkan siapa diri kita. Drama tersebut membuat orang tidak perlu tahu siapa diri kita sebenarnya.

Kemudian, kontrol penuh. Orang yang ada di media sosial mampu mengontrol kapan dia ada disana dan bisa memilih anonim atau tidak. Yang ketiga kemudahan. Menggunakan media sosial sambil tidur pun bisa. Berkat teknologi yang ada, semua bisa kita lakukan sambil bermain media sosial.

Yang keempat, kecanduan. Di media sosial kita akan dengan mudah mendapatkan legitimasi sosial. Seperti pujian. Misalnya kita mengeluarkan kata - kata indah, kita akan menuai jempol. Apalagi kita melakukan hal lainnya yang entah itu orisinil atau  palsu. "Empat hal itu yang membuat banyak orang terikat pada media sosial, baik laki - laki maupun perempuan," kata Devie.

Ini yang kemudian menimbulkan ketidaknyamanan di dunia nyata. Karena orang banyak menghabiskan energi dan waktunya di media sosial.

"Apa tanda bahaya ketika sebuah hubungan sudah mulai terganggu dengan adanya media sosial. Karena kalau menurut saya ada 3 M. Pertama kita sudah memeluk ponsel sampai tidur, benar - benar yang kita peluk dan ajak bicara bukan pasangan, tapi ponsel. Terus merasa bahagia ketika berada di medsos. Kita bisa tersenyum, kita bisa tertawa ketika kita menatap ponsel kita. Ketiga, benar - benar mengabaikan pasangan yang ada. Walaupun pasangan kita ada di sebelah, kita tidak ngajak ngobrol. Yang kita ajak ngobrol adalah layar itu. Kadang kalau kita mau menyampaikan sesuatu kepada pasangan, bukannya bicara langsung kita malah langsung forward saja ke WA pasangan. Jadi tidak ngobrol," kata dia.

Hal - hal demikian yang kemudian menimbulkan iritasi sosial. Orang kemudian merasa tidak diperhatikan oleh pasangan. Devie menyampaikan, menurut riset di Inggirs, 17 persen orang bertengkar setiap hari karena media sosial. "Karena pasangan merasa diabaikan, bukannya diajak ngobrol dan ditanya kabar," ujarnya.

Ketika sudah diabaikan, maka akan menimbulkan ketidaknyamanan. Ketika tidak nyaman, selanjutnya akan menurunkan rasa kepercayaan. Hal tersebut yang akhirnya memicu konflik dan berakhir pada perceraian.

"Yang membuat komunikasi itu tidak terjadi, (setelah sudah tidak ada komunikasi lagi yang terjadi) yakni ketika pasangannya sudah mulai curiga pada pasangannya. Bahwa ada pesan rahasia atau selingkuhan atau ada yang dirahasiakan oleh pasangannya," kata Devie. Ia menambahkan bahwa survey menunjukkan 58 persen orang tahu sandi ponsel pasangannya. Meskipun terkadang pasangannya tidak tahu bahwa pasangannya tahu.

Namun demikian ada juga nilai positif dari media sosial. Secara umum, selama media sosial membantu penggunanya untuk melakukan kontak atau komunikasi atau silaturahmi, itu akan menjadi baik. Yang kedua, jika media sosial dapat mendatangkan keuntungan ekonomi. Misalnya ketika kita berbisnis.

"Itu kan ada nilai value yang nyata yang di kehidupan nyata juga kita rasakan. Tapi nyatanya tidak banyak orang yang berada disana dan merasakan manfaat yang produktif. Yang terjadi dia kemudian benar - benar terjerat dengan pesona media sosial yang tidak ada batas tadi. Itu kemudian yang membuat dia mengabaikan kehidupan sosial," tutur Devie.

Devie juga menegaskan bahwa terminologi kecanduan bukan dilihat pada durasi penggunaan media sosial, tetapi ketika fungsi sosialnya sudah mulai terganggu. Ia mencontohkan, orang yang bekerja di depan komputer kemudian bermain saham itu menghasilkan dan tidak menimbulkan masalah.

Namun ketika kemudian orang tidak lagi berkomunikasi dengan orang di sekitarnya dan akhirnya menjadi depresi, saat itulah terjadi kecanduan media sosial. Depresi dapat terjadi karena melihat unggahan orang lain yang lebih hebat. Yang belum tentu benar, bisa jadi palsu. Dampak yang lebih buruk lagi dapat memicu orang untuk melakukan bunuh diri atau mengonsumsi narkoba digital seperti pornografi.

Selain itu, Devie juga menawarkan 3 cara mengatasi kecanduan media sosial. Pertama, memilah akun media sosial mana saja yang akan digunakan. Kedua, mengatur dengan baik keberadaan di media sosial akan digunakan untuk apa saja. Ketiga, mengelola dosis penggunaan media sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement