REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah RI seharusnya menghubungi pihak perusahaan pembuat Telegram agar mau bekerjasama dalam memberantas terorisme darpada. Bahkan Telegram dinilai sudah sangat kooperatif dalam memerangi terorisme.
"Langkah Pemerintah RI memblokir Telegram adalah tindakan kebodohan. Pemerintah seharusnya menghubungi pihak Telegram agar mau bekerja sama dalam pemberantasan terorisme," ujar Pengamat Terorisme Al Chaidar kepada Republika.co.id, Sabtu (15/7).
Chaidar mengatakan, pihak Telegram setiap bulan sudah menutup banyak channel teroris yang ada di Telegram. Telegram pun dianggapnya sudah sangat kooperatif. Hanya saja, pemerintah seakan sudah tidak bisa berpikir jernih dalam menangani terorisme. "Semua ide para akademia ditolak mentah-mentah tanpa peduli akibatnya," jelas Chaidar.
Ia mengaku sangat kesal dan menyayangkan pemblokiran yang dilakukan pemerintah tersebut. Menurutnya, semua hasil penelitian dan rekomendasi para akademisi tentang penanganan terorisme jadi tidak ada manfaatnya.
"Yang sangat disayangkan adalah bahwa Telegram dipakai oleh begitu banyak orang untuk mentransmisikan informasi dan pesan serta akses lainnya. Umumnya untuk kebutuhan ilmu pengetahuan," kata dia.
Baca juga, Pemerintah Resmi Blokir Telegram, Ini Penjelasan Kemkominfo.
Kementerian Kominfo pada Jumat (14/7) telah meminta Internet Service Provider (ISP) melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik situs aplikasi percakapan Telegram. Kementerian Kominfo menyatakan pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, dan paham kebencian.
"(Ada) ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia," demikian siaran pers Kementerian Kominfo, Jumat (14/7).