Ahad 02 Jul 2017 04:00 WIB

Ilmuwan: Suhu Panas Bulan Lalu Sinyal Kuat Perubahan Iklim

Balai Kota Paris disinari lampu hijau bentuk ketidaksetujuan Paris atas keputusan Presiden AS menarik diri dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris.
Foto: EPA
Balai Kota Paris disinari lampu hijau bentuk ketidaksetujuan Paris atas keputusan Presiden AS menarik diri dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Gelombang panas selama Juni lalu mempengaruhi sebagian besar wilayah Inggris dan Eropa Barat. Ilmuwan yang tergabung dalam World Weather Attribution mengatakan gelombang panas itu karena perubahan iklim (climate change). 

Dilansir dari BBC pada Ahad (2/6), para periset menyatakan aktivitas manusia telah mengakibatkan suhu menjadi 10 kali lebih panas di beberapa bagian Eropa. Selama bulan Juni, rata-rata suhu bulanan tercatat 3 derajat celsius di atas normal di bagian barat Benua Biru. 

Para ilmuwan ini melakukan analisis multi-metode untuk melihat pengaruh aktivitas manusia dalam pemanasan atau peningkatan suhu ini. "Kami menemukan sinyal yang sangat kuat," kata Dr Friederike Otto dari Universitas Oxford yang juga anggota tim peneliti kepada BBC

Sinyal itu menunjukkan potensi gelombang panas setidaknya hingga 10 kali kemungkinan terjadi di Spanyol dan Portugal. Bulan lalu, kebakaran hutan mengakibatkan kematian 64 orang di Portugal, sedangkan kejadian serupa di Spanyol memaksa pemerintah lokal memindahkan 15 ribu orang. 

Di bagian tengah Inggris, Prancis, Swis, dan Belanda, intensitas dan frekuensi panas yang ekstrem setidaknya hingga empat kali kemungkinan terjadi karena perubahan iklim. 

Inggris mengalami hari yang paling hangat pada Juni kemarin sejak gelombang panas yang terkenal di 1976. Pada 21 Juni, perekam temperatur di Bandara Heatrow, London, mencatat suhu mencapai 34,5 derajat celsius, menjadikan hari paling hangat di Inggris selama 40 tahun.

Pada tanggal yang sama, Prancis mengalami malam terpanas dengan rata-rata suhu di seluruh negeri adalah 26,4 derajat celsius. Kondisi serupa terjadi di Belanda sedangkan Swis mencatat bulan juni terpanas kedua sejak 1846. Ketiga negara pun menyusun rencana darurat menghadapi panas. 

"Kami menemukan hubungan yang jelas dan kuat antara catatan suhu pada bulan Juni dan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia," kata Geert Jan van Oldenborgh, peneliti senior di Royal Netherlands Meteorological Institute (KNMI).

Van Oldenborgh menambahkan catatan suhu lokal menunjukkan tren pemanasan yang jelas, bahkan lebih cepat daripada model iklim yang mensimulasikan efek pembakaran bahan bakar fosil dan variabilitas matahari dan perubahan penggunaan lahan. 

Studi para ilmuwan ini juga menunjukkan di negara-negara seperti Spanyol, Portugal, dan Prancis, memiliki potensi peningkatan suhu yang ekstrem hingga empat puluh kali. Para ilmuwan percaya bahwa potensi suhu ekstrem ini bakal semakin meningkat, kecuali ada langkah cepat untuk mengurangi emisi karbon.

"Bulan dengan suhu yang panas tidak lagi langka dalam iklim kita saat ini," kata Robert Vautard, seorang peneliti di Laboratorium Iklim Dan Environmental Sciences (LSCE), yang juga terlibat dalam penelitian ini.

Hasil temuan tim ini menunjukkan jenis panas yang ekstrem seperti pada Juni lalu bisa terulang pada 10 hingga 30 tahun mendatang, tergantung di negara mana. Para periset tersebut meminta para pemimpin kota secara khusus bekerja dengan ilmuwan dan pakar kesehatan masyarakat untuk mengembangkan rencana aksi menghadapi pemanasan global.

"Pada pertengahan abad ini, jenis panas ekstrem setiap bulan Juni akan menjadi wajar di Eropa Barat, kecuali kita mengambil langkah mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Vautard. 

Biasaya, para peneliti mempublikasikan penelitian setelah ada dimuat dalam jurnal. Namun, tim merasa ada urgensi untuk menginformasikan kepada publik. "Selalu ada politisi yang memiliki agenda politik mempertanyakan perubahan iklim tanpa bukti ilmiah," kata Otto. 

Dia juga menjelaskan cara tim melakukan penelitian. "Kami mensimulasikan cuaca apa yang mungkin terjadi dalam iklim saat ini. Kemudian, kami mensimulasikan cuaca apa yang mungkin terjadi tanpa perubahan iklim antropogenik. Lalu, kami membandingkan dua kemungkinan yang memberi kami rasio risiko," ujar Otto. 

sumber : BBC
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement