REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Facebook semakin banyak dibanjiri unggahan-unggahan yang mengganggu dan konten-konten yang berisi kebencian. Dengan mengerahkan 4.500 staf khusus, perusahaan media sosial raksasa ini berhasil menghapus 66 ribu konten kebencian dalam sepekan dan 288 ribu konten dalam sebulan.
Facebook mengakui perlunya mempekerjakan staf manusia karena mesin membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan proses penyortiran konten kebencian. "Semakin banyak komunikasi terjadi dalam bentuk digital, berbagai percakapan publik terbentuk secara daring - dalam grup dan broadcast, dalam teks dan video, bahkan dengan emoji," ujar Richard Allan, VP EMEA public policy, Selasa (27/6), dikutip Daily Mail.
"Hal ini mencerminkan keragaman manusia: ada yang mencerahkan dan informatif, ada yang lucu dan menghibur, dan yang lainnya ada yang bersifat politis atau religius. Beberapa juga ada yang menyebarkan kebencian dan kejelekan. Platform dan sistem komunikasi adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk membatasi konten kebencian semacam ini. Facebook tidak terkecuali," tambah dia.
Menurut Facebook, konten kebencian adalah unggahan-unggahan yang menyerang orang lain berdasarkan ras, orientasi seksual, dan karakteristik lainnya. Stafnya kemudian meninjau kembali konten-konten itu dan memutuskan apakah mereka akan menghapusnya.
Facebook juga menyadari tidak adanya kesepakatan universal mengenai konten-konten yang melanggar norma. Meski beberapa negara memiliki peraturan yang ketat mengenai ujaran kebencian, namun pengertiannya bisa berbeda di tiap-tiap negara itu.
"Mereka yang hidup di negara yang sama, atau bahkan bertetangga, bisa saja memiliki level toleransi yang berbeda. Bagi beberapa orang, humor mengenai agama bisa dianggap sebagai penistaan bagi pengikut agama itu," jelas Allan.
Sistem penghapusan konten kebencian ini diakui Facebook belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Sistem ini juga masih banyak membuat kesalahan dengan menghapus konten-konten penting.
Salah satu kesalahan Facebook terjadi tahun lalu, saat Shaun King, seorang aktivis Afrika-Amerika, mengunggah foto sebuah email yang diterimanya, yang berisi ujaran kebencian. Facebook dengan cepat menghapus unggahan itu, tanpa menyadari bahwa King mengunggahnya untuk melawan serangan kebencian.
"Saat kami menyadari kesalahan itu, kami mengembalikan unggahan tersebut dan meminta maaf," kata Allan.