Kamis 30 Mar 2017 18:20 WIB

Hidup di Era Digital, Indonesia Siapkah?

Rep: Nora Azizah/ Red: Winda Destiana Putri
 Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan memberikan paparan pada acara Rembuk Republik di Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (30/3).
Foto: Republika/Prayogi
Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan memberikan paparan pada acara Rembuk Republik di Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Dunia sudah 'mendigital'. Tak ada lagi celah untuk menolak. Bila tidak berubah bersama teknologi, maka akan tertinggal.

Namun, apakah Indonesia sudah siap dengan kehidupan serba digital? Ada banyak pandangan dari para pakar teknologi dalam menjawab pertanyaan tersebut. Seperti yang dikatakan Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia Semuel Abrijami Pangerapan bahwa Indonesia siap mengadopsi kehidupan digital.

"Dari segi infrastruktur dan hukum yang mengatur kegiatan di dalam internet, Indonesia sudah siap hidup di era digital," ujar Semuel dalam acara Rembuk Republika 'Siapkah Indonesia Memasuki Era Digital?' Di Auditorium Green Office Park (GOP) 9 Sinar Mas Land BSD City, Tangerang Selatan, Kamis (30/3). Indonesia sudah siap dari segi infrastruktur, seperti koneksi internet yang saat ini sudah semakin membaik di era 4G LTE. Kemudian penetrasi internet dan penggunaan ponsel pintar juga terus meningkat setiap tahun. Hal tersebut menandakan masyarakat sudah antusias mengadopsi hidup mendigital.

Kemudian dari segi hukum, Indonesia sudah berpikir panjang dan matang. Dunia digital berbasis internet membuat seluruh aktivitas para penghuninya menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Payung hukum diperlukan untuk mengatur segala bentuk aktivitas tersebut. Indonesia sudah memulainya dengan membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pads 2008 silam. Hingga saat ini UU tersebut sudah disempurnakan menjadi lebih matang. Kemudian pada awal 2017 para stakeholder pemerintahan juga sudah membuat UU terkait industri financial technology (fintech) tanah air.

Semuel menjelaskan, era digital juga membuat ranah privasi manusia seolah hilang. Data pribadi yang terekam di dalam otak komputer membuat penghuni internet mudah dilacak, baik dari segi kebiasaan berselancar atau hobi. Indonesia melihat data pribadi sebagai hal yang perlu diberikan perlindungan. "Kami sedang merancang UU terkait perlindungan data pribadi di dalam dunia maya," jelas Semuel. Rencananya UU akan rampung pada tahun depan. Artinya, pihak seperti Google atau Facebook yang memiliki data pribadi penggunanya tidak bisa menggunakan big data tersebut sembarangan.

Bila pihak pemerintah mengatakan sudah siap, lain hal dengan Pakar Digital Marketing Kafi Kurnia. Kafi yang sudah mulai merambah bisnis digital sejak 80-an tersebut berpendapat, era digital bukan soal siap atau tidak. "Masyarakat ingin ikut arus atau tidak, bila tidak maka akan jauh tertinggal," ungkap Kafi. Siap atau tidak bergantung pada keinginan manusia untuk berubah bersama teknologi. Kehadiran teknologi sudah tak bisa ditolak. Ibarat arus laut yang terus berjalan, begitu pula keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia. Namun teknologi sangat bisa dimanfaatkan untuk kehidupan dan memberikam dampak positif.

Kafi mengatakan, dari segi infrastruktur mungkin Indonesia sudah mulai membangun ke arah digital. Namun dalam dunia nyata selalu saja memiliki kendala, dan dampaknya berpengaruh terhadap dunia digital. Misalnya, masalah internet dengan kecepatan lambat atau bahkam down service tetap saja ditemukan. Bahkan hal tersebut sering terjadi secara tiba-tiba tanpa peringatan. Kemudian ketika pengguna jasa jaringan internet ingin melaporkan keluhan tersebut jawaban pihak penyedia jasa tidak pernah memuaskan. Dalam satu tahun bila dikalkulasikan sekitar tiga bulan internet bisa mengalami down service.

Dari segi transaksi pembayaran e-commerce dan lain sebagainya, Indonesia juga belum siap. Contohnya, Indonesia masih menerapkan sistem pembayaran melalui jaringan ATM atau retail. Padahal, transaksi pembayaran atau mobile payment secara menyeluruh dilakukan di dalam perangkat mobile pengguna seperti yang diterapkan negara lain. Transaksi dilakukan menggunakan kartu kredit atau uang virtual, serta mobile banking. Dalam sekejap transaksi bisa berlangsung tanpa harus membuat konsumen berjalan ke luar rumah mencari ATM atau toko retail.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement