REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian masyarakat mungkin masih meragukan aspek keamanan dari mobil kendali otomatis. Akan tetapi, keraguan itu mungkin akan hilang jika mobil yang dikendarai dapat dikendalikan melalui 'telepati'.
Hal ini yang coba diwujudkan oleh tim Boston University dan Conouter Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) di Massachusetts Institute of Technology melalui teknologi yang mereka kembangkan. Teknologi ini menggunakan sinyal otak untuk secara otomatis mengoreksi kesalahan robot.
Pada dasarnya teknologi untuk berkomunikasi dengan robot, brain-computer interface (BCI) bukan teknologi baru. Hanya saja mayoritas penggunaan BCI mengharuskan calon pengguna untuk berlatih BCI dan bahkan belajar memodulasi pikiran mereka terlebih dahulu agar bisa dimengerti oleh mesin.
Berbeda dengan teknologi BCI kebanyakan, teknologi yang dikembangkan oleh tim Boston University dan CSAIL Massachusetts Institute of Technology bisa digunakan oleh orang awam melalui pikiran mereka dengan bergantung pada sinyal otak bernama error-related potentials (EffPs). Sinyal ini terjadi secara otomatis ketika seseorang melakukan kesalahan atau menemukan kesalahan pada orang lain. Pengguna, terang peneliti, hanya perlu menyatakan setuju atau tidak setuju dengan apapun aksi yang akan dilakukan oleh mesin bot.
"Ketika manusia dan robot bekerja bersama-sama, pada dasarnya Anda telah belajar bahasa robot, belajar cara komunikasi baru dengan robot, beradaptasi dengan interface-nya," kata salah satu peneliti sekaligus kandidat PhD dari CSAIL, Joseph DelPreto, seperti dilansir LiveScience.
Meskj begitu, tim peneliti mengatajan akurasi dari sistem teknologi yang mereka kembangkan masih perlu ditingkatkan. Dalam percobaan real time, akurasi bot dalam mengklasifikasikan sinyal ErrPs hanya sedikit lebih besar dari 50:50, yang artinya hampir setengah dari upaya bot dalam mengenali koreksi atas kesalahan dari pengguna tidak berhasil. Sedangkan dalam percobaan offline, sistem hanya berhasil mengenali dan mengoreksi kesalahan sebanyak hampir 65 persen saja.
Akan tetapi, ketika mesin bot tidak mengenali sinyal ErrP dan gagal untuk melajukan koreksi, otak manusia biasanya akan memunculkan sinyal ErrP lagi yang lebih kuat. Oleh karena itu, tim peneliti optimistis jika ke depan mereka dapat menghasilkan teknologi yang benar-benar dapat mengontrol robot secara akurat dan dapat diandalkan.
Senada dengan tim peneliti, associate professor dari École Polytechnique Fédérale de Lausanne, José del R. Millán, menilai akurasi mesin dalam mengenali sinyal ErrP yang dikembangkan tim peneliti memang masih rendah. Akan tetapi, ia melihat pendekatan yang dilakukan tim peneliti dalam mengembangkan teknologi tersebut sangat menjanjikan.
Kelompok Millán pun menggunakan sinyal ErrP untuk 'mengajarkan' tangan robotik untuk bergerak sesuai target lokasi. Mulanya, tangan robotik juga melakukan gerakan-gerakan acak, akan tetapi melalui pendekatan reinforcement learning, bot dapat mempelajarinstrategi gerakan terbaik untuk target-target tertentu.
"Saya lihat ini digunakannuntuk interaksi manusia-mesin yang kompleks, di mana sebagian besar tantangannya datang dari sisi mesin karena kapasitas mesin untuk melakukan tugas hampir semuanya otomatis, dan manusia hanya sekedar memantau," ujar Millán.