REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Meski El Niño kuat sudah berlalu, pemanasan global terus berlanjut akibat polusi karbon. Januari 2017 merupakan Januari terpanas ketiga sepanjang sejarah berdasarkan data yang dirilis Badan Antariksa Nasional AS (NASA) dan Badan Oseanik dan Atmosferik Nasional AS (NOAA).
Kedua badan ini menggunakan teknik berbeda mengukur suhu bumi. Hasil NASA menunjukkan suhu bumi naik sebesar 1,7 derajat Fahrenheit dari rata-rata suhu bumi pada 1951-1980. Sementara data NOAA menunjukkan kenaikan suhu bumi sebesar 1,6 derajat Fahrenheit dari rata-rata suhu bumi di abad 20, demikian dilansir Live Science.
Titik panas bumi sendiri terlihat di Arctik. Analisis NASA di area luas yang menunjukkan peningkatan suhu sebesar sembilan derajat Fahrenheit di atas ambang normal pada Januari 2017. Perluasan area panas ini terus berlanjut hingga Februari 2017 ini hingga peningkatan mencapai 50 derajat Fahrenheit dan mencapai Kutub Utara pekan lalu.
Panas yang terus bertahan ini terus mempertipis lapiran es di Kutub Utara. Lapisan es di Arctik biasanya mencapai ketebalan maksimum pada pertengahan Maret. Tahun ini nampaknya lapisan es di sana akan mencatat rekor tertipis dalam tiga tahun berturut. Hilangnya lapisan es laut di Arctik adalah indikator nyata betapa perubahan iklim menggerus sistem alam.
Meski panas pada Januari tahun ini bisa dikatakan tidak semengkhawatirkan tahun lalu, bicara perubahan iklim adalah bicara pola. Bumi sudah menghangat 1,8 derajat Fahrenheit sejak pencatatan suhu bumi mulai dilakukan dan puncaknya terlihat pada 2014, 2015, dan 2016. Sementara, belum pernah lagi ada laporan pendinginan bumi sejak 1911.
Terlepas dari semua itu, manusia harus melihat gambar besarnya bahwa bumi sudah memanas dan penyebabnya adalah polusi karbon yang disebabkan manusia.