REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki awal 2017 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Beleid tersebut berbubuh tanda tangan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad.
Peraturan tersebut mengatur mengenai penyelenggaraan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi, yakni aturan bagi financial technology yang menyelenggarakan pembiayaan dari pemberi ke penerima pinjaman. Peminjaman dana tersebut menggunakan skema peer-to-peer atau fintech lending. Skema tersebut membuat pemberi pinjaman atau investor dan calon peminjam bisa menentukan partnernya.
Secara sederhana, skema fintech lending ibarat 'pencari jodoh' antara calon pemberi dana dan peminjam. Perusahaan fintech lending berfungsi sebagai penyedia layanan tersebut yang menghubungkan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Melalui perusahaan fintech lending, dua belah pihak merasa saling cocok sehingga proses transaksi bisnis berjalan sesuai keinginan keduanya.
Dalam POJK 77/2016 jelas tertulis bahwa pinjam meminjam berbasis teknologi informasi memiliki definisi sebagai penyelenggara layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dan penerima pinjaman. Skema peer-to-peer tersebut melakukan perjanjian meminjam dalam mata uang rupiah. Perbedaannya dengan cara konvensional, fintech lending mengatur peminjaman tersebut melalui sistem elektronik di atas jaringan internet.
Peraturan yang tertera dalam situs Ojk.go.id tersebut menyebutkan, penyelenggara bisa berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) atau Koperasi. Penyelenggara wajib melakukan pendaftaran pada pihak OJK, dan permohonan mendaftar dilakukan paling lambat enam bulan setelah POJK terbit. Sementara itu permohonan izin harus disampaikan maksimal satu tahun setelah penyelenggara terdaftar pada OJK.
Beleid tersebut tidak tertutup bagi lembaga asing untuk mendirikan atau menjadi pemilik saham penyelenggara. Namun dalam peraturan ditegaskan, kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara atau badan hukum asing, baik langsung atau tidak, hanya sebesar 85 persen saja. POJK juga mengatur kewajiban bagi fintech terdaftar untuk memberikan laporan secara berkala tiap tiga bulan. Persayaratan penerima pinjaman harus warga negara dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia.
Peraturan OJK tersebut memang dinanti bagi dunia teknologi keuangan. Lahirnya peraturan OJK menjadi babak baru industri fintech tanah air. "Peraturan OJK untuk seperti sosok 'bapak' bagi fintech," ujar Ahli Ekonomi Khairil Anwar dalam diskusi media bersama KoinWorks di Jakarta, belum lama ini. Sebelumnya pelaku fintech tidak memiliki kepastian status sebagai salah satu lembaga keuangan dalam negeri.
OJK akhirnya memberikan tempat pada industri fintech sebagai lembaga keuangan di luar perbankan. Kepastian status tersebut juga memberikan napas lega bagi para investor atau calon nasabah fintech. Sebab, sebelumnya mungkin mereka masih ragu untuk menitipkan dana atau memperoleh pendanaan dari lembaga yang tidak bernaung di bawah OJK. Dengan POJK tersebut kedua pihak merasa memiliki 'naungan' dan tercatat secara hukum pasti sehingga transaksi keuangan tercatat jelas sesuai hukum yang berlaku.
Khairil menjelaskan, OJK memang tidak membawahi transaksi secara langsung. Namun POJK menjadi sistem tolak ukur yang mengatur segala bentuk transaksi pada skema fintech lending. Peraturan tersebut memang berdampak positif bagi perkembangan fintech, terutama customer protection. Perlindungan konsumen memang menjadi fokus utama karena bisnis fintech membicarakan nilai transaksi yang tak sedikit.
Bagi para pelaku fintech sudah seharusnya melakukan registrasi pada OJK sehingga lembaganya tercatat secara sah. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan nasabah untuk melakukan transaksi. POJK juga memberikan 'rasa baru' dalam pelayanan keuangan. Tidak menutup kemungkinan lembaga perbankan akan menjalin kerja sama dengan pelaku fintech. Bahkan mungkin bisa menghadirkan terobosan layanan keuangan baru bagi konsumen.
Namun pertanyaan besar terhadap industri fintech tanah air masih terkait penetrasi di masyarakat. Arah industri fintech di Indonesia sebagian besar masih menyasar pasar penduduk kota-kota besar. Kondisi tersebut wajar saja terjadi karena penggunaan teknologi sebagian besar masih mewabah kaum urban. Tetapi prediksi fintech bisa cepat diadopsi secara merata seperti keberadaan ecommerce.
Literasi dan edukasi memang harus terus dilakukan banyak pihak. "Fintech bisa cepat diterima atau tidak, semua kembali lagi pada prinsip penggunaan teknologi," jelas Khairil yang juga merupakan Adviser atau Penasehat untuk KoinWorks. Teknologi mampu menghapus batas ruang dan waktu yang sebelumnya tidak bisa dilakukan lembaga konvensional. Mungkin infrastruktur, seperti perangkat dan koneksi jaringan di kota besar dan tidak berbeda. Tetapio seiring perkembangan teknologi masalah tersebut akan terselesaikan.
Fintech Lending KoinWorks
Co-founder KoinWorks Benedicto Haryono menanggapi POJK sebagai awal positif terhadap keberadaan industri fintech tanah air. "Kami akan melakukan registrasi pada minggu pertama atau ke dua bulan depan," kata Benedicto. Peraturan tersebut membantu pelaku fintech untuk meningkatkan kepercayaan calon penanam dana dan peminjam. KoinWorks merupakan platform desktop fintech lending yang publish sejak Agustus tahun lalu. KoinWorks memberikan kesempatan pada nasabah dan calon pemberi dana bertemu untuk melakukan transaksi keuangan.
Pinjaman diberikan kepada peminjam perorangan bersama perusahaan rekanan yang telah tervalidasi. Semua peminjam sudah melewati proses validasi data dan evaluasi, serta analisa kredit berupa laporan keuangan, permohonan pinjaman, dan algoritma analisa keuangan. Syarat peminjam dan pemberi dana harus memiliki kartu identitas penduduk dan berusia di atas 21 tahun. Sementara bagi pemberi dana bisa memulai pendanaan sebesar Rp 100 ribu.
KoinWorks memberikan pinjaman dengan jumlah minimal Rp 10 juta. Termin pembayaran dimulai dari enam hingga 24 bulan dengan fasilitas pelunasan kapan saja tanpa denda. Pembayaran kredit juga dilakukan per bulan. Bunga pinjaman berkisar antara 0,75 sampai 1,67 persen setiap bulan bergantung pada risiko peminjaman. Selain memiliki target pasar pendanaan untuk retail, KoinWorks juga memberikan pendanaan dalam bidang edukasi.
Program tersebut sudah berlangsung selama beberapa bulan sebagai pilot project. "Pendanaan untuk edukasi masih bersifat pendidikan informal yang berkaitan dengan peningkatan skill," jelas Benedicto. Saat ini KoinWorks sudah bekerja sama dengan lebih dari enam lembaga di bidang pendidikan informal. Hingga saat ini total pengajuan dana pinjaman sudah mencapai 11 ribu, dan KoinWorks sudah mendanai sekitar ratusan permintaan pendanaan. Total pemberi dana atau investor sudah mencapai 5 ribu pemberi pinjaman. KoinWorks sudah melakukan pendanaan paling besar senilai hampir Rp 400 juta untuk satu pengajuan pinjaman dengan melibatkan 300 pemberi dana.