Selasa 24 Jan 2017 11:02 WIB

Ilmuwan Indonesia Temukan Obat Antipenyakit Jiwa

Rep: Hasanul Rizka/ Red: Winda Destiana Putri
Penderita Schizophrenia. Ilustrasi
Foto: creepypasta.wikia.com
Penderita Schizophrenia. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penemuan terbaru Prof Taruna Ikrar dan koleganya di University of California, Irvine, Amerika Serikat (AS), berhasil menemukan obat anti-schizophrenia, yakni Neurogulin-1 (NRG1). Hasil penelitian ilmuwan neurosains asal Makassar, Sulawesi Selatan itu telah dipublikasikan dalam artikel berjudul Neuregulin1/ErbB4 Signaling Regulates Visual Cortical Plasticity yang terbit pada Jurnal Neuron Edisi Oktober 2016.

Ia menjelaskan, jaringan saraf manusia memiliki kemampuan plastisitas. Selama fase perkembangan otak, pelatihan kognitif dapat menjadi dasar acuan penurunan risiko orang dengan gangguan jiwa berat.

Untuk membuktikan hipotesis tersebut, Prof Taruna Ikrar dan tim memakai hewan uji coba yang mengalami kerusakan pada pusat saraf di otak (visual cortex). Kemudian, hewan ini diberi NRG1 dengan menggunakan standar pelatihan kognitif. "Dengan aplikasi obat yang disebut NRG1 (Neurogulin-1), (penelitian) menunjukkan hasil bahwa sikronisasi dan sinapsis serta harmoni di otak menjadi normal setelah pemberian NRG1," kata Prof Taruna Ikrar dalam rilisnya, Selasa (24/1).

Berdasarkan hasil tersebut, lanjut dia, pihaknya akan melanjutkan penelitian pada skala yang lebih luas, yakni pasien-pasien penderita schizophrenia di rumah sakit. Proyek riset ini diharapkan akan rampung dalam dua tahun mendatang. "Jika hasil uji klinis pada manusia memperlihatkan hasil yang sama, berarti NRG1 akan menjadi obat molekular yang sangat ampuh untuk mengobati penyakit jiwa menahun dewasa ini," ungkap dia.

Selain itu, dia juga memaparkan, penelitian ini juga menemukan bahwa keturunan dari penderita schizophrenia atau pun orang yang mengalami kerusakan di otak sejak kecil memiliki risiko gangguan jiwa berat setelah dewasa. Namun, tindakan pencegahan (profilaksis) bisa dilakukan antara lain dengan pelatihan-pelatihan kognitif sejak masa muda atau pemberian formula NRG1. "Sehinga pada saat berkembang menjadi dewasa, orang tidak lagi menderita gangguan jiwa berat. Hal ini akan membantu mengurangi biaya pengobatan, mengurangi kerugian akibat penderitaannya."

Baca juga: Ilmuwan Ungkap Hubungan Antara Emosi dan Ingatan

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, prevalensi atau peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa di dunia cukup mengkhawatirkan. Ada lebih dari 39 juta jiwa diketahui mengalami gangguan jiwa berat. Pada tahun yang sama, Indonesia menempati urutan tertinggi penderita gangguan jiwa tersebut.

Namun, menurut Prof Taruna Ikrar, ini bagaikan fenomena gunung es. Sebab, jumlah penderita masih lebih banyak lagi yang belum terdeteksi. Berdasarkan laporan Pusat Psikiater Amerika, dibutuhkan dana sekitar 160 miliar dolar AS per tahun untuk mengatasi penyakit tersebut.

Secara klinis, schizophrenia merupakan penyakit mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dengan respons emosional yang buruk. Penderita kerap mengalami halusinasi pendengaran, delusi paranoid, hambatan berpikir, atau bahkan disfungsi sosial.

Sayangnya, lanjut dia, di Indonesia penderita schizophrenia acap kali dianggap sebagai aib oleh keluarga dan lingkungannya. Bahkan, tak sedikit penderitanya yang dipasung, diisolasi, atau dicap mengalami 'gangguan' setan atau mahluk halus. Padahal, jelas Prof Taruna Ikrar, kemunculan schizophrenia ikut ditentukan faktor genetika dan lingkungan.

Dalam kasus yang lebih serius, penderita schizophrenia memiliki keinginan untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, sehingga harus menjalani rawat inap. Harapan hidup rata-rata orang dengan gangguan tersebut adalah 12-15 tahun kurang daripada orang-orang normal.

Penyakit ini memiliki gejala yang khas sebagai berikut:

- Penderita tak bisa membedakan antara kenyataan dan halusianasi.

- Penderita biasanya mengalami kecemasan, depresi, dan bahkan menjadi pencetus keinginan bunuh diri.

- Penderita memiliki perasaan yang sangat sensitif dan tidak stabil.

- Penderita tidak bisa fokus dan berkonsentrasi.

- Penderita susah atau bahkan tidak bisa sama sekali tertidur.

Dalam tahap lanjutan, penderita bisa kehilangan empati terhadap orang lain. Kalau berbicara, penderita akan meloncat-loncat dengan topik yang tidak saling berkaitan satu sama lain.

Pada umumnya, obat antipsikotik dapat membantu mengendalikan gejala namun memberikan efek samping terhadap penderita. Karena gangguan jiwa berat ini merupakan penyakit menahun, maka kesembuhan pasien sangat tergantung pada kedisiplinan meminum obat. Terapi supportif juga, misalnya, pelatihan keterampilan sosial, dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaan. Peran keluarga harus diikutsertakan untuk mendukung penyembuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement