Selasa 29 Nov 2016 18:02 WIB

LIPI Kembangkan Bahan Obat Malaria Ukuran Nano

Nyamuk malaria.
Foto: ABC News
Nyamuk malaria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Pusat Penelitian (Puslit) Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yenny Meliana mengembangkan bahan baku obat malaria berupa artemisinin dalam ukuran nano kristal dengan manfaat lebih efektif karena mudah terlarut dalam air.

"Puslit Kimia LIPI telah mengembangkan bahan baku obat malaria berbasis ACT (Artemisin Based Combination Therapy) yang lebih murah dan lebih efektif diserap oleh tubuh penderita. Caranya, dengan memperkecil ukuran kristal artemisinin ke dalam cakupan ukuran nanocrystal sehingga mudah larut dalam air," kata Yenni di Jakarta, Selasa (29/11).

Selama ini, menurut dia, obat malaria dikonsumsi dengan cara dimakan. Namun, dirinya menilai obat malaria akan bekerja lebih efektif apabila larut dalam air.

Selain itu, ia mengatakan peningkatan kelarutan artemisinin dapat dilakukan dengan mendispersikan bahan obat itu dengan bahan pendispersi. Tujuannya, untuk meningkatkan kelarutannya di dalam air atau disebut nano dispersi.

Hasil penelitian Yenni ini telah mendapatkan penghargaan di bidang ilmu sains, teknologi dan matematika dari L'Oreal-UNESCO For Women In Science National Fellowship Awards for Woman 2016. Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di tingkat global, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2015 terdapat 209.413 kasus malaria di Indonesia.

Terapi kombinasi berbasis Artemisin Based Combination Therapy ini, menurut Yenni, merupakan terapi yang banyak digunakan. Namun, pengobatan ini belum berjalan maksimal dikarenakan beberapa lokasi yang sudah bukan daerah endemis malaria sehingga pasien tidak segera terdiagnosis sebagai pasien malaria.

Pada 2015, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan ada sekitar 214 juta kasus baru malaria dengan kematian sekitar 438 ribu orang di seluruh dunia. Beberapa wilayah di Indonesia bahkan telah dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria seperti Papua, Papua Barat Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara.

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5/MENKES/PMK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Pedoman Tatalaksana Malaria menggunakan Artemisin Based Combination Therapy. Laporan WHO 2010 menyebutkan penerapan terapi ACT dapat menekan kasus malaria secara global, namun pengobatan ini dinilai belum berjalan optimal.

"Kurangnya cakupan pengobatan malaria menggunakan ACT salah satunya dikarenakan beberapa lokasi yang sudah bukan daerah endemis malaria, seperti Jakarta dan sekitarnya," kata Yenni.

Kasus malaria yang datang dari daerah endemis kerap kali terlewatkan sehingga pasien tidak segera terdiagnosis sebagai pasien malaria.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement