Jumat 18 Nov 2016 21:17 WIB

Revisi PP 52/53 Berpotensi Merugikan Industri Telekomunikasi

Industri telekomunikasi (ilustrasi)
Foto: XL-Axiata
Industri telekomunikasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Sekretaris Jenderal Pusat Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi, mengatakan waktu uji publik bagi revisi PP 52/53 tahun 2000 yang berakhir pada Ahad (20/11) terlalu singkat dan tidak ideal.

Ridwan menilai, peraturan yang sudah menyedot banyak perhatian itu tidak cukup bila memakan waktu hanya enam hari saja. Mungkin akan berbeda hal jika revisi peraturannya tak terlalu berdampak besar.

"Jika niat Kemkominfo tulus ingin mendapatkan masukan dari masyarakat, idealnya uji publik terhadap revisi PP 52/53 tahun 2000  dapat dilakukan dalam kurun waktu 30 hari kerja," kata Ridwan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (18/11).

Meski waktu yang diberikan oleh pemerintah sangat minim, Ridwan menyarankan agar masyrakat dapat memanfaatkan waktu tersebut dengan baik. Sehingga dapat memberikan masukan dan pendapat terhadap revisi PP 52/53.

Dari revisi PP 52/53 yang telah dibuka oleh Kemkominfo, Ridwan melihat ada pasal yang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat. Salah satu kebaikan yang tertuang dalam revisi PP 52/53 adalah kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.

Meski melihat ada yang bermanfaatnya, namun tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 yang berpotensi akan merusak industri telekomunikasi. Bahkan, di dalam revisi 53, Kemkominfo berpotensi melanggar UUD dan UU Telekomunikasi.

Pasal yang dinilai Ridwan merugikan industri telekomunikasi diantaranya, diwajibkannya berbagi jaringan atau network sharing antar penyelenggara jaringan telekomunikasi. Dengan diberlakukannya kewajiban berbagi jaringan tersebut, justru berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.

Sejak diberlakukannya UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999, setiap operator telekomunikasi telah membangun jaringan telekomunikasinya sesuai dengan amanah UU Telekomunikasi dan modern licensing yang telah mereka kantungi. 

Pengamat Bisnis dan Ekonomi UGM Fahmy Radhi menilai dalam kondisi jaringan belum menjakau seluruh wilayah Indonesia. Ia menilai kewajiban network sharing yang terdapat dalam revisi PP 52/53 justru berpotensi untuk menghambat penambahan pembangunan. 

Ini disebabkan operator tidak akan mengambil inisiatif membangun jaringan selama bisa "nebeng" jaringan operator lain. Padahal Indonesia masih memerlukan penambahan jaringan telekomunikasi khususnya untuk daerah terluar dan terpencil.

Melihat banyaknya mudaratnya revisi PP 52/53, Fahmy pun mengendus jika dua aturan tersebut merupakan akal-akalan dari sejumlah operator yang dikuasai oleh BUMN asing utk mengkerdilkan BUMN telekomunikasi nasional dalam suatu persaingan yang tidak sehat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement