Jumat 14 Oct 2016 00:56 WIB

KPPU, KPK, dan Ditjen Pajak Diminta Selidiki Perang Tarif Seluler

Operator seluler (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Operator seluler (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) didesak segera turun tangan untuk mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.

Peperangan tarif seluler ini diklaim akibat imbas dari polemik antar operator yang dipicu revisi PP 52/53 Tahun 2000 tentang telekomunikasi. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, tujuan revisi ini agar industri telekomunikasi nasional bisa mendapatkan efisiensi.

"Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” kata  Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (13/10).

Menurut dia, revisi PP 52/53 Tahun 2000 ini seolah-olah membuat efisiensi, padahal hanya terjadi pada sebagian operator saja. Di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi. Bahkan dampaknya lebih luas lagi dan berpotensi merugikan negara.

Salah satu bukti mal administrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antaroperator telekomunikasi. Alamsyah menilai indikasi perang harga antaroperator telekomunikasi sudah mulai terlihat dari tarif promosi yang mereka keluarkan.

Analis saham PT Bahana Securities Leonardo Henry Gavaza CFA mengatakan, PP 52/53 tahun 2000 memang diciptakan untuk kompetisi dan persaingan harga antaroperator penyelenggara telekomunikasi. "Memang revisi tersebut ditujukan untuk mendukung kebijakan perang tarif Indosat dan XL,” kata Leonardo.

Sebelumnya, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telpon antaroperator. Sebelumnya Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telpon antaroperator. Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antaroperator yang dijual di bawah harga pokok produksinya.

Anak usaha Ooredoo ini mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135 ribu atau setiap menit Rp 225 per menit. Sementara XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dengan harga Rp 120 ribu atau Rp 200 per menit.

Meskipun Indosat maupun XL bisa berdalil program promosi dengan memangkas tarif originasi, namun program tersebut terbilang tidak masuk akal. Karena operator kerap melakukan perpanjangan program promosi tersebut tanpa tenggat waktu yang jelas.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, KPPU dan Ditjen Pajak juga dapat segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif. "Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tersebut mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak," katanya.

Ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, akan membuat operator merugi. Jika merugi maka operator tak membayar pajak. Akibatnya negara tidak bisa melakukan belanja publik. Menurut Yustinus, predatory pricing yang rugi sebenarnya publik secara luas.

“Modus-modus seperti ini yang seharusnya diperiksa KPK dan Ditjen Pajak. Apalagi operator yang menggunakan nama Ooredoo, sudah pasti mereka membayar lisensi fee dan mengurangi pendapatan negara lagi. Di dalam pajak ada istilah pajak substance over form,” ujar Yustinus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement