Rabu 12 Oct 2016 12:06 WIB

Benarkah Kita Hidup di Dunia Simulasi?

Oculus VR
Foto: Jae C Hong/AP
Oculus VR

REPUBLIKA.CO.ID, Pernah menyaksikan film trilogi “The Matrix”? Dalam film tersebut, dunia yang kita tinggali sekarang digambarkan hanyalah semacam program komputer. Kehidupan yang kita jalani hanyalah program kenyataan virtual yang dicitrakan secara paksa kepada manusia-manusia di masa depan oleh mesin-mesin dan komputer-komputer yang telah memiliki kemampuan berpikir mandiri. Para tokoh film tersebut dikisahkan berhasil mendobrak program tersebut dan kembali ke dunia nyata.

Meski kedengarannya tak masuk akal, sejumlah ilmuwan dari institusi-institusi pendidikan ternama menyimpulkan bahwa kemungkinan tersebut lebih masuk akal dari pada tidak. Majalah New Yorker bahkan mengabarkan bahwa saat ini ada dua miliuner yang tengah mengucurkan dana untuk para ilmuwan guna menemukan cara membebaskan manusia dari kenyataan virtual tersebut.  

Dilansir the Guardian pada Selasa (11/10), kemarin, salah satu ilmuwan yang meyakini hipotesa tentang realitas maya tersebut adalah Nick Bostrom dari Universitas Oxford di Inggris. Pada 2003 silam, ia dengan berani menyimpulkan bahwa kehidupan yang kita jalani adalah sejenis simulasi komputer yang dijalankan “seseorang” atau “sekelompok orang” dengan kekuatan komputer yang sangat canggih. Hal itu ia sarikan dari observasi soal kian canggihnya teknologi komputer dan struktur kompleks otak manusia. 

Dalam perkembangan teknologi komputer misalnya, manusia telah melangkah jauh dalam empat puluh tahun belakangan. Mulai dari permainan komputer “Pong” yang hanya terdiri dari satu titik dan dua garis pada layar komputer, hingga permainan dengan gambar tiga dimensi yang luar biasa realistik diimbuhi kecerdasan buatan yang membuat karakter-karakter rekaan didalamnya bisa diajak berinteraksi nyaris seperti di kehidupan nyata. Belakangan, mulai berkembang teknologi kaca mata virtual yang bisa menenggelamkan pengguna dalam dunia tiga dimensi yang sepenuhnya dirancang dalam komputer.

“Dalam waktu dekat, tak ada lagi yang menghalangi manusia membuat mesin-mesin yang memiliki kesadaran mereka sendiri,” kata Rich Terrile, seorang ilmuwan dari Laboraturium Pendorong Jet NASA, kepada the Guardian. Terrile membayangkan, dengan kecepatan perkembangan teknologi seperti sekarang, dalam beberapa dekade ke depan manusia bisa jadi entitas artifisial yang hidup dalam dunia simulasi seperti gim komputer lebih banyak dari jumlah manusia keseluruhan.

Alasan yang juga mendorong para imuwan menimbang secara serius kemungkinan bahwa kita hidup di kenyataan virtual adalah alam semesta itu sendiri. Semakin maju pengetahuan, ilmuwan kian paham bahwa alam semesta dibangun dengan ukuran yang sangat presisi dan bergerak konstan secara matematis. 

Seluruh unsur-unsur di dunia juga ternyata dibangun dengan anasir renik subatomik yang seragam, sangat mirip seperti blok-blok pixel membangun dunia di gim komputer atau film berbasis gambar komputer. 

Hal-hal yang sempat dikira ilmuwan sebagai tak terbatas seperti energi, ruang, dan waktu, ternyata kemudian terbukti sebaliknya. Dengan program yang baku dan material yang terbatas, kemungkinan bahwa dunia sebenarnya disimulasikan jadi lebih besar. 

Salah satu keberatan mendasar para ilmuwan penentang adalah soal siapa yang menjalankan program simulasi tersebut, dan di mana program tersebut dijalankan. “Apakah mereka punya hukum fisika yang berbeda dengan dunia yang mereka simulasikan?” tanya kata Max Tegmark, profesor fisika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat. Ia salah satu ilmuwan yang tak sepakat dengan pihak-pihak yang meyakini teori dunia simulasi tersebut. 

Di persoalan siapa yang menjalankan ini memang Terrile agak terbata-bata. Salah satu kemungkinan yang ia ajukan adalah simulasi yang kita jalani sekarang adalah rancangan manusia-manusia di masa datang yang membuat program simulasi tentang kehidupan leluhur mereka di masa lalu.

Bagaimanapun, ia berpandangan bahwa teori simulasi adalah penjelasan yang lebih sederhana tentang keberadaan manusia ketimbang ide bahwa peradaban manusia dimulai dari campuran senyawa primordial yang menyatu secara kebetulan untuk kemudian berevolusi menjadi molekul, organisme hidup, dan kemudian makhluk yang berakal dan sadar soal dirinya sendiri.

Selain itu, Terrile juga mengaitkan teori dunia simulasi dengan prinsip mekanika kuantum bahwa keberadaan sebuah materi  hanya mewujud jika ada entitas yang mengamati mereka. Contoh paling kerap dipakai (dan disalahgunakan) dalam fisika kuantum soal teori ini adalah soal teori bahwa seekor kucing dalam kotak tertutup yang diisi materi radioaktif masih dalam keadaan mati dan hidup sekaligus selama kotak belum dibuka dan tak ada “pengamat” yang bisa memastikan. “Para ilmuwan selama berdekade-dekade telah gagal menyingkirkan gagasan bahwa alam semesta memerlukan pengamat yang sadar untuk mewujud,” kata dia.

 “Teori bahwa kita hidup dalam simulasi memang secara logis memungkinkan, tapi saya tak percaya kita sedang hidup di dalam simulasi,” kata Max Tegmark. Meski begitu, ia tak menutup memercayai kemungkinan tersebut selama bisa dibuktikan dengan eksperimen. Salah satu eksperimen yang bisa dicoba, menurut Tegmark, adalah para ilmuwan masa kini mencoba membuat simulasi serupa.

Jika ilmuwan-ilmuwan masa kini bisa menciptakan simulasi komputer yang menghasilkan “kesadaran”, maka kemungkinan bahwa kita hidup dalam simulasi akan kian besar. Sejauh ini, ahli komputer telah berhasil menciptakan program yang bisa mengalahkan manusia dalam kasus-kasus atau persoalan tertentu seperti yang jamak ditemukan dalam permainan-permainan olahraga di komputer. Meski begitu, belum ada program yang berhasil disimulasikan mendekati pikiran dan perasaan manusia. 

Saat capaian itu diraih para ilmuwan dan teori dunia simulasi kian masuk akal, menurut Terrile, dampaknya akan luar biasa. Temuan itu akan menyediakan dasar ilmiah soal akhirat dan realitas yang jauh lebih akbar dari alam semesta yang kita tempati. Dalam satu dan lain hal, ia akan mengkonfirmasi yang sudah dipercayai para pemeluk agama-agama sejak ribuan tahun lalu. “Anda tak memerlukan mukzizat atau keyakinan buta untuk memercayainya karena seluruhnya bisa dibuktikan dengan hukum fisika,” kata Terrile. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement