Kamis 06 Oct 2016 20:37 WIB

Revisi PP 52/53 Berimbas ke Perang Tarif Operator

Operator telekomunikasi (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Operator telekomunikasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Setelah Indosat Ooredoo menurunkan tarif pembicaraan ke semua operator dengan program Rp 1 per detik.sejak pertengahan tahun lalu. Kini, XL Axiata mengikuti jejak rival terberatnya tersebut lewat program Rp 59 per menit untuk telpon semua operator.

Analis saham PT Bahana Securities Leonardo Henry Gavaza CFA mengatakan, jor-joran tarif antaroperator ini dipastikan akan membuat margin operator yang sudah cekak akan semakin menipis.

Program perang tarif yang dilakukan oleh Indosat dan XL tersebut dinilai Leonardo memiliki kemiripan dengan banting harga jasa telpon yang pernah dilakukan operator telekomunikasi di tahun 2007 dan 2008 yang lalu. Dahulu adu murah hanya di level onnet (dalam satu operator) namun kini sudah menjalar ke offnet (beda operator).

"Perang tarif ini cepat atau lambat akan dilakukan oleh Indosat dan XL. Memang tujuan Menkominfo melakukan revisi PP 52/53 tahun 2000 ini adalah untuk menciptakan kompetisi dan persaingan harga. Jadi revisi 52/53 tahun 2000 dan penurunan biaya interkoneksi memang ditujukan untuk mensupport kebijakkan perang tarif Indosat dan XL," kata Leonardo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/10).

Chief Economist Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter mengatakan, adu murah tarif telekomunikasi yang dilakukan Indosat dan XL merupakan strategi untuk mendapatkan pelanggan baru di suatu wilayah. Meski tarif murah ini sekilas akan menguntungkan konsumen, namun jika perang tarif terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan masiv, Kahlil memastikan akan ada operator yang mengalami kerugian.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan ada operator telekomunikasi yang ‘gulung tikar’ akibat tak mampu bertahan di perang tarif ini. Jika dikalkulasikan, sekilas perang harga yang dilakukan Indosat dan XL akan membawa keuntungan bagi konsumen. Dengan adanya perang harga, konsumen akan mendapatkan harga yang lebih murah dari penyelenggara jasa telekomunikasi.

Untuk jangka panjang, Kahlil pesimistis, konsumen akan diuntungkan dengan adanya perang tarif ini. Operator yang melakukan perang harga akan kembali menaikkan harga untuk menutup kerugian mereka selama ini ketika menjalankan perang harga tersebut. Sebagai entitas bisnis yang mencari keuntungan, operator telekomunikasi harus menggembalikan dana yang dipergunakan untuk melakukan perang harga tersebut.

Dengan kondisi seperti ini, nantinya harga layanan telekomunikasi dari operator yang melakukan perang harga tersebut bisa menggalami kenaikan. Selain itu konsumen juga berpotensi mendapatkan harga yang jauh lebih mahal, menurut Kahlil konsumen juga bisa berpotensi mendapatkan layanan komunikasi yang kurang handal.

Operator yang menjalankan perang harga dinilai Kahlil kerap mengabaikan kualitas layanan telekomunikasinya. Seperti sering terjadinya drop call atau terbatasnya coverage di satu wilayah. "Jadi perang harga tidak otomatis menguntungkan konsumen. Perang tarif justru berpotensi memperdaya konsumen," ujar Kahlil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement