REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Fenomena Pokemon Go membuat sejumlah pihak mengeluarkan larangan bermain karena kekhawatiran keamanan data dan dampak negatif dari permainan yang berbasis teknologi augmented reality (AR) atau realitas yang ditambahkan tersebut. Namun, Dosen Jurusan Teknik Elektro dan Ilmu Teknologi, Fakultas Teknik UGM, Widyawan menilai Pokemon Go sebenarnya tidak jauh berbeda dari aplikasi yang sudah umum di Indonesia seperti Google Map dan bahkan Gojek.
Widyawan mengemukakan, Permainan Pokemon Go merupakan game yang berbasis lokasi. Terdapat avatar (karakter dalam game yang merupakan representasi pemain) yang berjalan atau berpindah sesuai posisi pemain.
Interaksi berupa kemunculan karakter Pokemon, Pokestop, Gym, dan lain-lain bisa disesuaikan dengan lokasi pemain. Dalam bahasa akademis, aplikasi ini termasuk kategori context-aware application. Secara teknis, lokasi pemain didapatkan dari informasi GPS, triangulasi sinyal WiFi, atau triangulasi sinyal menara seluler.
Teknologi ini sebenarnya sudah banyak digunakan dalam aplikasi lainnya seperti Google Map, Waze, GO-JEK, Facebook, Path, dan Foursquare. Posisi pemain akan dikirim ke server untuk kemudian memberikan layanan yang sesuai. Tidak jauh berbeda dengan Gojek yang akan mencatat lokasi pemesan untuk memilihkan pengemudi ojek terdekat.
Widyawan berpendapat, seharusnya, kekhawatiran terhadap penggunaan informasi lokasi di Pokémon Go tidak lebih besar dibandingkan menggunakan Gojek, Google Map, atau Garmin GPS. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kebijakan kerahasiaan data yang ketat untuk menjaga privasi pelanggannya.
“Dari sudut privasi, saya lebih khawatir membagikan nomor handphone ketika mengisi formulir kartu kredit di Indonesia,” tuturnya. Karena, kata dia, pengisian formulir selalu berujung pada banyaknya telepon tidak jelas yang menawarkan produk asuransi dan kartu kredit lain.
Baca juga: Kekhawatiran Pokemon Go Dinilai Berlebihan dan tak Berdasar