Sabtu 02 Jul 2016 18:45 WIB

Revisi PP Telekomunikasi dan Frekuensi Dinilai Cacat Hukum

Frekuensi dan Orbit Satelit (Ilustrasi)
Foto: wordpress.com
Frekuensi dan Orbit Satelit (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP No. 52/2000) dan PP No. 53/2000 tentang Frekuensi dan Orbit Satelit dianggap cacat hukum sehingga tak layak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan pernyataan dari Menkominfo Rudiantara tentang proses penyerapan aspirasi publik dalam menyusun revisi kedua PP itu mengambang.

"Ketidaktahuan Menkominfo tentang tak terlibatnya Telkom Group dalam penyusunan revisi kedua PP tersebut semakin menegaskan ada agenda tersembunyi dari revisi tersebut. Bagi saya ini sudah cacat moral dan tak layak disahkan oleh Presiden,” kata Kamilov dalam keterangannya, Sabtu (2/7).

Menurut Kamilov, tak dilibatkannya Telkom Group dalam revisi kedua aturan yang akan mengubah wajah bisnis sektor telekomunikasi itu meninggalkan tanda tanya besar.

“Tahun lalu nilai bisnis sektor telekomunikasi sekitar Rp 170 triliun. Telkom Group itu menguasai nyaris 50 persen pangsa pasar. Kok tak dilibatkan? Ini ada apa? Saya melihat ini ada upaya mengerdilkan Telkom Group,” katanya..

Jika proses tak transparan dalam penyusunan revisi kedua PP itu berlanjut, ujarnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan investigasi ke Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengingat ada potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang karena revisi aturan.

“Ini ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Jadi, mirip-mirip reklamasi Teluk Jakarta ini kasus kalau KPK cermat melihat kasus ini,” kata Kamilov.

Jika mengacu pada Undang-undang No. 36 tentang Telekomunikasi, katanya, jelas bahwa tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), ada potensi kerugian.

Pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Nah, masalahnya muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi melihat alerginya Telkom Group terhadap berbagi jaringan bukan masalah ketakutan kehilangan dominasi di pasar, tetapi lebih kepada fairness.

“Sebagai penyelenggara jaringan yang lisensinya sama, tentunya membangun jaringan nasional yang tentu setiap perusahaan butuh modal besar. Di sini letak fairness-nya. Networks sharing akan menghilangkan equal treatment operator,” katanya.

Ridwan mengusulkan jika memang pemain lain ingin berbagi jaringan dilihat saja dari 18.000 pulau di Indonesia, dimana ada 13.000 pulau berpenghuni, dan mana yang belum terlayani sinyal seluler.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement