REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tudingan praktik monopoli yang dilontarkan Indosat terhadap Telkomsel di pasar luar Jawa dianggap bisa melemahkan Industri telekomonikasi Indonesia.
“Tudingan itu tak hanya menjatuhkan Telkomsel, tetapi melemahkan industri telekomunikasi. Pasalnya, tuduhan itu telah menyulut perseteruan berlarut di antara pelaku Industri telekominikasi, yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan konsumen,” kata Pemerhati Ekonomi dari UGM Fahmy Radhi di Jakarta, Kamis (30/6).
Menurutnya, tudingan dari Indosat ke Telkomsel tidak main-main, karena anak usaha Telkom itu dituding melanggar pasal 19b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, yang akan dikenakan sanksi berat. Pasal 19b menyatakan bahwa larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan upaya yang dapat menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, jika terbukti akan dikenakan sanksi sesuai diatur dalam UU.
“Kalau melihat teori, tudingan terhadap Telkomsel ini tidak benar. Telkomsel bukan satu-satu pelaku usaha yang ada di pasar pada industri telekomunikasi di Indonesia.
Ada banyak pesaing potensial yang tanpa hambatan masuk dan menjual produk sejenis di pasar, di antaranya Indosat, XL, Tri dan Smartfren,” katanya.
Secara teoritis, monopoli adalah penguasaan pasar (monopoly market) yang dilakukan oleh satu penjual yang menjual produk atau jasa kepada banyak pembeli.
Produk atau jasa tersebut tidak ada produk pengganti (substitution products) yang memiliki persamaan dengan produk monopoli. Perusahaan monopoli tersebut secara langsung maupun tidak langsung mampu menciptakan hambatan bagi masuknya produk atau jasa sejenis ke dalam struktur pasar monopoli (barrier to entry), sehingga tidak ada pesaing.
Dalam skala nasional, Telkomsel memang saat ini menguasai pasar terbesar yang mencapai 156 juta pelanggan. Namun, pesaingnya juga menguasai pasar yang cukup besar juga, di antaranya Indosat menguasai 69 juta pelanggan, diikuti oleh Tri dengan pelanggan sebesar 55 juta dan XL Axiata sebesar 42 juta.
Sedangkan menurut Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), berdasarkan pasal 17 UU No. 5/199, mendifinisikan penyalahgunaan posisi monopoli (abuse of monopoly) harus
memenuhi 3 kriteria: (1) barang dan atau jasa belum ada subtitusinya, (2) menghambat pelaku usaha lain utuk menjual barang dan atau jasa yang sama, dan (3) satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50 persen (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan kriteria KPPU itu, Telkomsel sesungguhnya tidak melakukan praktik monopoli seperti yang dituduhkan. Realitanya terdapat banyak produk atau jasa sejenis yang dijual oleh pesaingnya di pasar. Telkomsel juga tidak melakukan upaya by design untuk menghambat pesaingnya masuk di pasar. Sedangkan pangsa pasar yang dikuasai oleh Telkomsel secara nasional tidak mencapai di atas 50%, melainkan sekitar 45 persen.
“Kalau Indosat menuding Telkomsel melakukan praktik monopoli lantaran mendominasi 80% pangsa pasar luar Jawa, jauh di atas 50% sesuai ketentuan UU Persaingan Usaha, juga tidak sepenuhnya benar. Penetapan penguasaan pangsa pasar di atas 50% sesuai UU itu adalah penguasaan pasar secara nasional, bukan bagian pasar bedasarkan wilayah Jawa dan Luar Jawa,” katanya.
Anggota Dewan TIK Nas Garuda Sugardo mengungkapkan, saat ini pesaing Telkomsel mulai melirik pasar luar Jawa karena di Jawa persaingan sudah saturated, sementara di luar Jawa Average Revenue Per User (ARPU) lumayan menggiurkan.
“Dua dekade yang lalu, investor dan analis menertawakan pembangunan jaringan Telkomsel di Indonesia bagian Timur. Kenyataan sekarang? Semua operator mengincar pasar ini. Pemakaiannya banyak dan ARPU-nya tinggi sekali. Telkomsel itu memetik hasil perjuangannya di kala yang lain tak mau membangun,” tegasnya.
Mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M Ridwan Effendi mengungkapkan kala masih aktif sebagai regulator, Indosat dan XL ketika diminta membangun di daerah perbatasan selalu mundur. “Akhirnya Telkomsel yang bangun. Sekarang semua teriak siap investasi, tetapi mau network sharing. Ini namanya nunggu di tikungan. Tidak fair dilihat dari kompetisi,” ketusnya.