Rabu 15 Jun 2016 13:55 WIB

Tarif Interkoneksi Turun 30 Persen, Operator Makin Efisien

Penggunaan ponsel cerdas masa kini lebih banyak berkomunikasi lewat cara selain panggilan telepon.
Foto: ist
Penggunaan ponsel cerdas masa kini lebih banyak berkomunikasi lewat cara selain panggilan telepon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi hingga 30 persen dinilai akan membuat operator makin efisien. Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi mengatakan, pemerintah harus berani menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan mengingat seluruh provider telekomunikasi di Indonesia tengah berkembang dan semakin efisien. 

 "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujar Heru dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (15/6).

Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini. Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.

Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator. Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. "Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.

Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar. Kasus seperti itu banyak ditemui di Indonesia bagian timur.

Sementara membangun infrastruktur penunjang luas jaringan tak bisa dikatakan murah. Sehingga memang tak semua operator bisa menjangkau daerah terluar Indonesia yang sedang berkembang. “Nah, tarif interkoneksi atau off-net yang murah antar provider bisa dijadikan solusi mengatasi kebuntuan itu,” paparnya.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya selalu terbuka atas masukan dari stakeholder terkait rencana pemerintah menurunkan biaya interkoneksi. Namun dikatakannya, pemerintah telah memiliki hitung-hitungan sendiri soal penurunan biaya interkoneksi.

"Ya, kalau interkoneksi kan bervariasi. Ada yang minta rendah dan ada yang meminta tinggi. Bagi saya, silakan kasih masukan kepada pemerintah, tapi pada akhirnya kita punya angka sendiri yang paling optimal untuk industri secara keseluruhan," kata Menkominfo. 

Pada dasarnya, keputusan pemerintah menurunkan biaya interkoneksi tersebut merupakan langkah agar industri telekomunikasi lebih efisien.

"Balik lagi bagaimana kita melihat industri ini lebih efisien. Industri efisien itu melihat dari komponen biayanya. Biaya komponen itu apa, ada macem-macem. Ada interkoneksi, ada cash cost dan non cash cost. Kalau non cash cost itu, bukan cash biaya keluar. Ya itu dari apa, dari depresiasi. Depresiasi adalah fungsi dari investasi. Itu semua harus diupayakan turun. Regulasi yang dibuat itu harus menyasar biaya itu turun. Jadi interkoneksi bukan satu-satunya. Semua termasuk regulatori cost," katanya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement