REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Implementasi vaksinasi terhadap unggas yang tidak tepat bisa menyebabkan mutasi virus flu burung. Kepala Avian Influenza Research Center (AIRC) Universitas Airlangga (Unair), CA Nidom, mengatakan, vaksinasi yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini baru mencakup 5 persen dari target 70 persen dari total unggas. Provinsi Jawa Timur menjadi yang tertinggi yakni 4,8 persen.
“Jika virus dicekam vaksinasi, virus akan melakukan perubahan (mutasi), virus yang 5 persen cekaman maka 95 persen ditulari yang umumnya dipelihara masyarakat lima sampai 10 ekor tanpa kandang,” ucapnya, Senin (30/5).
Nidom menjelaskan, setelah AIRC melihat dan mendapatkan data-data kasus flu burung di Banyuwangi, Lamongan, dan wilayah lain, diketahui hampir semua unggas yang terjangkit flu burung tidak divaksinasi. Menurutnya, ketika unggas yang divaksin bertemu dengan unggas yang tidak divaksin, maka virus flu burung akan melompat ke unggas tanpa vaksin. Karena kekebalannya lemah sehingga mudah terserang virus. Unggas divaksin ini biasanya bertemu unggas tanpa vaksin ketika diperjual belikan di pasar.
“Kan tidak hanya sekadar di ayam yang mati, tapi virus itu kemana sekarang. Itulah yang saya khawatirkan sebagai penggunaan vaksin yang overuse,” ujarnya.
Menurutnya, overuse bisa diartikan penyuntikan vaksin yang berlebihan pada unggas. Hal itu bisa saja disebabkan anggaran vaksin sedikit dan kebutuhan yang berbeda-beda tiap kabupaten/kota, sehingga ada daerah yang berlebihan vaksin kemudian disuntikkan semua ke unggas.
Nidom memaparkan, peternak unggas dibagi menjadi empat sektor. Sektor I yakni peternak dari hulu ke hilir. Misalnya perusahaan tertentu yang memiliki pabrik pakan, bibit unggas dan plasma-plasma. Perusahaan ini biasanya telah memikirkan pencegahan kerugian ekonomi sehingga melakukan vaksinasi secara mandiri.
Sektor II yakni peternakan yang tidak mempunyai hulu tapi bergabung, misalnya perusahaan peternakan dan breeding farm yang memiliki jutaan ekor unggas. Sektor III terbagi menjadi IIIA dan IIIB. Peternakan sektor IIIA ini memiliki ternak unggas sekitar puluhan ribu ekor. Sedangkan IIIB memilki tenak ribuan ekor. Sementara peternakan sektor IV biasanya dimiliki rumah tangga yang hanya punya puluhan sampai ratusan ekor unggas. Selama ini vaksinasi yang menjadi tanggungan pemerintah adalah sektor IIIB dan IV.
“Sektor IV ini potensinya besar tertular virus flu burung, yang bersumber dari sektor I, II,dan III. Karena mereka tertutup, kalau ada apa-apa dijual ke pasar. Sehingga kenapa virus itu terjadi loncat kemana-mana,” ucapnya.
Oleh sebab itu, ia meminta sektor IV ini dihilangkan. Salah satu caranya, dengan mengganti ternak unggas dengan budidaya hewan yang tidak menularkan penyakit kepada manusia, seperti kambing. Sebab, jika sektor IV ini dihilangkan begitu saja akan ada protes dari masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Sehingga, hal itu dinilai menjadi tugas pemerintah untuk menggeser peternakan sektor IV ini ke budidaya hewan lain.