Selasa 24 May 2016 15:02 WIB

Campuran Ini Bikin Penggunaan Pertamax Plus Makin Efisien

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Kendaraan pribadi mengisi bahan bakar Pertamax Plus di SPBU.
Foto: Republika/Wihdan
Kendaraan pribadi mengisi bahan bakar Pertamax Plus di SPBU.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Fakultas Teknik Universitas Brawijaya mengembangkan formula bahan bakar baru yang dapat mengurangi jumlah penggunaan bahan bakar fosil.

Mereka menambahkan komponen senyawa jenis alkohol ke dalam bahan bakar untuk meningkatkan nilai kalor dan tekanan uap. Bahan yang ditambahkan adalah etanol dan butanol.

“Kenapa butanol? Karena senyawa ini dikenal sebagai alkohol rantai panjang yang dapat meningkatkan nilai kalor sehingga efisiensi kerja pada mesin semakin bagus,” kata ketua tim penelitian Rhezaldian Eka Darmawan dalam siaran pers yang Republika.co.id terima, Selasa (24/5).

Eka dan kawan-kawannya sudah mengujicoba komposisi bahan bakar campuran Pertamax Plus RON 92 ditambahkan etanol dan butanol di laboratorium. Penghitungan nilai kalor diujicobakan di Laboratorium Mesin Bakar Teknik Mesin. Hasilnya, untuk murni bahan bakar Pertamax Plus (RON 92) nilai kalornya adalah 12.000 kalori/gr. Sedangkan untuk komposisi campuran dari Tim PKM-P didapatkan nilai kalor 11.300 kalori/gr.

“Artinya bisa mengurangi konsumsi bahan bakar pertamax hingga 12 persen,” ujar Eka.

Uji coba kedua dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia untuk menguji densitas senyawa. Ternyata, nilai densitas yang didapatkan konstan, stabil, dan karakteristik bahan bakar campuran tidak berubah. Pengujian ini terkait keamanan dalam proses penyimpanan bahan bakar ke dalam tangki kendaraan bermotor.

“Dari uji densitas juga dapat dilihat bahwa bahan bakar campuran dapat dibakar secara bersamaan. Emisi yang dihasilkan juga pasti rendah. Sehingga aman untuk digunakan dikendaraan bermotor,” kata dia.

Menurut Eka, karya ini terinsiprasi dari kurang maksimalnya pemanfaatan biobutanol. Selama ini bahan yang marak digunakan adalah bioetanol (campuran bensin dan etanol). Padahal, penggunaan etanol sebagai campuran terdapat kapasitas maksimumnya. Bila melebihi batas maksimum, maka performa yang didapatkan kurang bagus. Alhasil, tim berinisiatif memanfaatkan bahan tambahan butanol.

“Oleh pemerintah butanol jarang disentuh karena memang penelitian tentang butanol masih sangat minim,” ujar mahasiswa Teknik Kimia itu.

Eka menjelaskan Butanol dapat diproduksi dari ampas tebu, kulit pisang, atau jagung. Selama ini, ampas tebu olahan pabrik lebih banyak dimanfaatkan menjadi bioetanol. Padahal, lanjut Eka, lebih baik lagi bila dijadikan menjadi biobutanol. Peneltiian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar dapat ditingkatkan pengembangan biobutanol selain bioetanol.

"Karena nanti, untuk pengembangan komposisi bahan bakar terbaru, diharapkan penggunaan kompisisi butanol lebih menonjol dari etanol," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement