REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Program Teknologi Biofarmasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Chaidir Amin, mengatakan pemerintah sebaiknya melakukan kontrak riset teknologi untuk memulai industri biosimilar. Pihaknya menilai, industri biosimilar sulit dikembangkan secara langsung di Indonesia.
"Saran saya, pemerintah lewat BUMN melakukan kontrak riset indsutri dengan peneliti dari luar negeri. Selain itu, juga bisa dikembangkan model kontrak multi perusahaan sehingga dalam jangka waktu belasan hingga puluhan tahun ke depan industri ini dapat berkembang," ujar Chaidir kepada awak media di Jakarta, Kamis (14/4).
Menurut dia, strategi kontrak riset di atas dapat mengatasi kendala pengembangan industri biosimilar baik dari segi teknologi maupun kesiapan SDM. Selama kontrak, Indonesia pun tetap mendapat keuntungan dari industri obat-obatan berbasis protein ini.
Chaidir melanjutkan, dari segi bisnis, biosimilar diprediksi berkembang pesat ke depannya. Sebab, meski harganya lebih mahal, ada pertimbangan khasiat yang dirasa lebih baik dan aman saat menggunakan obat-obatan biosimilar.
"Pengembangan industri ini memang lebih mempertimbangkan sisi bisnis. Sebab, untuk pengembangan teknologi biosimilar kami lihat belum ada komitmen ke sana," tutur dia.
Chaidir menambahkan, hingga saat ini masyarakat Indonesia telah mengkonsumsi obat biosimilar berupa insulin dan erythropoitein. Kedua obat itu diimpor dari luar negeri sejak 10 tahun lalu.
Keunggulan obat biosimilar terletak pada bahan dasarnya yang berupa protein dan antibodi. Obat ini dinilai lebih alami jika dibandingkan dengan obat generik kimiawi.