REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gilang Akbar Prambadi, wartawan Republika.co.id, laporan dari Jepang
Topik Senjakala Media Cetak rupanya sebuah isu lama yang sudah mendunia. Di Indonesia, senjakala itu mulai terasa kian dekat mengacu pada fakta bahwa para pembaca berita cetak mulai menipis. Menyusutnya jumlah oplah atau eksemplar jadi acuan fakta tersebut.
Wabah serupa juga menjangkiti media di negara-negara lain. Bahkan di Amerika Serikat (AS), moyang dari lahirnya sebuah kebebasan jurnalistik, telah lama Senjakala Media Cetak ada. Mengutip perkataan Redaktur Pelaksana The New York Times (NYT), Jill Abramson, setidaknya sudah 40 media cetak baik Koran maupun majalah yang sudah tutup warung di sana. Termasuk, di media tempatnya berkarya, The NYT.
The NYT yang pernah dikenal sebagai Koran harian terlaris di AS ini telah mengganti 95 persen fokus penyajian berita mereka, dari cetak ke digital. Koran yang terbit sejak 1851 ini pun kehilangan banyak persentase oplah yang terus menukik. Dari jutaan perhari, ke angka ratusan ribu saja per pekan di akhir tahun 2010.
Tapi hal itu tak terjadi di Jepang. Negara dengan identitas pemilik teknologi paling inovatif dan mutakhir ini malah punya sebuah anomali. Oplah koran di Jepang masih tinggi.
Mengherankan karena Jepang dengan segala kemajuan teknologinya ternyata masih jadi tempat bernafas bagi media berbasis koran. Padahal, pemberangus media cetak di hampir setiap negara adalah kemajuan portal online yang bersandar pada teknologi informasi. Soal kemajuan teknologi informasi, Jepang sudah memiliki syarat untuk menemui Senjakala Media Cetak. Tapi kenyataannya, justru tidak demikian.
Satu perusahaan media yang bisa dijadikan acuan atas anomali ini adalah surat kabar terbesar di Jepang, Yomiuri Shimbun. Koran yang lahir sejak 2 November 1874 ini tetap berkibar di tengah mudahnya masyarakat negeri matahari terbit mengakses berita melalui internet.
Dalam kunjungan ke Jepang beberapa pekan lalu atas undangan Japan International Cooperation Center (JICE), Republika.co.id sempat mendapatkan kuliah umum dari jurnalis media tersebut. Kuliah umum ini diberikan kepada delapan jurnalis asal Indonesia yang berkesempatan mengenal jurnalisme Jepang melalui kuliah umum seputar media di sana.
Namanya Makiko Yanada. Saat bertemu, dia memperkenalkan diri sebagai pemimpin biro Yomiuri di Kota Maebashi, Prefektur Gunma. Yanada berkisah, hangatnya pembahasan Senjakala Media Cetak di dunia juga sampai ke negaranya. Dia mengatakan, Yomiuri memiliki biro di seluruh benua. Sehingga, isu yang berkembang di suatu negara pasti cepat pula sampai ke telinga mereka melalui para perwakilannya. Tentu saja, pembahasan Senjakala Media Cetak yang bersentuhan dengan dunia para pekerja Yomiuri ikut jadi perhatian.
Tetapi menurutnya, di negara tempat ia dilahirkan itu, Senjakala Media Cetak belum terlihat tiba. Dia menjelaskan, soal oplah, Yomiuri masih mampu menjaga konsistensi dengan mencetak 10 hingga 11 juta eksemplar per hari. Jumlah tiras ini terbagi dua setiap harinya seiring dengan waktu terbit yang menyasar pagi dan sore.
Pagi hari, Koran yang juga memiliki biro di Indonesia ini mencetak tak kurang dari delapan juta eksemplar. Pada sore hari, jumlah cetakannya berada di kisaran angka dua sampai tiga juta eksemplar. Tak pelak, jumlah ini pun kokoh menobatkan Yomiuri Shimbun sebagai surat kabar dengan oplah terbesar tidak hanya di Jepang, bahkan dunia.
Dengan total prakiraan pembaca mencapai 26,2 juta, Yomiuri Shimbun benar-benar menjadi gambaran umum masih bercahayanya surat kabar cetak di negeri Sakura.
“Sebenarnya konten dari koran yang kami sajikan tidak jauh berbeda dengan media-media pada umumnya. Saya pernah memimpin biro Indonesia di Jakarta dari Mei 2011 hingga Maret 2014. Saya melihat Koran-koran di negara anda dan memang banyak kemiripan,” kata Yanada di kantor Japan International Cooperation Center (JICE), Shinjuku, Tokyo saat itu.
Yanada mengatakan, kekuatan utama Yomiuri terletak pada konten politik. Seperti halnya media Jepang pada umumnya, Yomiuri juga memperkerjakan jurnalis yang siap menguntit kemana pun isu politik bergulir. Menguntit dalam artian sebenarnya. Para pewarta yang dikenal dengan nama Ban-Kisha ini mengikuti kemanapun para pejabat atau politisi pergi. Mengawasi mereka layaknya paparazzi.
Dari penguntitan ini, ragam hasil berita menarik pun didapatkan. Mulai dari yang berkaitan dengan isu politik hingga hal-hal menarik yang jadi sisi lain dari dunia politik.
“Tapi di sinilah kami selalu memberi ruang pada sisi unik dunia politik. Bangsa kami, khususnya generasi muda, kurang tertarik dan peduli pada politik. Padahal tentu saja politik punya peranan penting. Kami sebagai media punya tugas untuk tetap mengawasi dunia politik Jepang sambil tentu mencoba memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya politik bagi kelangsungan negara,” papar wartawan senior yang memang mengidentitaskan diri sebagai jurnalis bidang politik ini.