REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merilis kantong plastik ramah lingkungan yang berasal dari limbah pengolahan singkong dan menggunakan teknik radiasi nuklir.
"Plastik ini sangat ramah lingkungan dan mudah terurai oleh mikroba tanah hanya dalam waktu dua sampai enam bulan," ujar Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (Pair) BATAN, Hendig Winarno, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/3).
Plastik ramah lingkungan tersebut, kata Hendig, sudah ditemukan oleh pihaknya sejak 10 tahun yang lalu. Namun baru dirilis saat ini bertepatan dengan pemberlakuan kantong plastik berbayar di ritel-ritel yang ada di Tanah Air.
Teknologi nuklir, sambung dia, dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi penggunaan plastik konvensional. Radiasi gamma dan berkas elektron dapat digunakan untuk membuat bahan baku pembuatan plastik dari bahan kopolimer yang mudah diurai.
Proses penyinaran radiasi terhadap bahan plastik tidak akan mengakibatkan bahan yang disinari menjadi radioaktif sehingga aman bagi penggunanya. Beberapa keunggulan proses radiasi adalah prosesnya relatif sederhana, aman, bersih dan tidak menggunakan katalis kimia. Ikatan antara molekul bahan yang diiradiasi terbentuk ikatan kimia, sehingga produknya relatif kuat.
"Meski memang tak sekuat plastik konvensional. Penggunaan onggok sebagai bahan dari plastik ramah lingkungan akan mengurangi kekuatan plastik. Kami telah mengamati uji di laboratorium kami dan hasilnya memang mengurangi (kekuatan plastik)," tambah dia.
Sifat lainnya hampir sama dengan bahan plastik konvensional, yaitu mudah dibentuk, mudah diwarnai dan dapat digunakan bukan hanya dalam bentuk kantong plastik, tetapi juga dapat digunakan untuk pembuatan vas bunga, pot, produk hiasan, piring, gelas, dan sebagainya.
Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, menegaskan pihaknya selalu menekankan bahwa nuklir untuk kesejahteraan, bahkan membantu bagaimana mengatasi masalah lingkungan.
"Termasuk yang saat ini yang menjadi tren, yakni mengurangi kantong plastik dalam berbelanja," jelas Djarot.
Proses pembuatan plastik ramah lingkungan tersebut dimulai dengan membuat biji plastik berbasis limbah tapioka dan beberapa bahan polimer lainnya agar mudah terurai secara alami.
Selanjutnya bahan tersebut diproses menjadi kopolimer dengan menggunakan teknologi radiasi. Penyinaran radiasi gamma memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga jam dengan dosis 10 kilo Gray.
Apabila tidak menggunakan radiasi, maka proses pembentukan kopolimer memerlukan suhu sekitar 60 derajat celcius, yang berarti memerlukan energi listrik dalam jumlah besar.
Meski demikian, investasi untuk produksi massal plastik ramah lingkungan tersebut terbilang besar karena memerlukan setidaknya lima irradiator. Satu irradiator saja memerlukan dana Rp 70 hingga Rp 90 miliar.