Selasa 23 Feb 2016 14:47 WIB

NASA 'Kecolongan' Soal Bola Api Meledak di Atas Samudra Atlantik

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Dwi Murdaningsih
bola api (ilustrasi)
Foto: Science Alert
bola api (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bumi dikunjungi sekitar 90 ton puing kosmis setiap harinya. Kadang puing tersebut terlalu besar hingga ketika bergesekan dengan atmosfer, jadilah bola api.

Dikutip dari Science Alert, awal bulan ini, bola api terbesar sejak bola api Chelyabinsk pada 2013 meledak di atas Samudra Atlantik, sekitar 1.000 km dari pantai Brasil. Sayangnya, tidak ada yang menyaksikan, kecuali militer AS.

Bahkan, Badan Antariksa AS (NASA) baru menyadarinya setelah diberi tahu militer AS. Tidak ada yang terluka oleh ledakan bola api itu. Astronom Phil Plait mengatakan, energinya setara ledakan 12 ribu ton TNT.

Bola api meledak 30 km di atas Samudra Atlantik. Fakta bahwa para ilmuwan NASA hanya tahu tentang bola api berkat perincian yang diungkap oleh militer AS cukup membingungkan.

"Ketika mencapai jarak 20-50 meter, ledakannya seperti bom nuklir," kata Plait.

Menurutnya, bola api ini langka dan secara statistik hanya muncul sekali dalam satu abad. Sayangnya, tim tidak tahu ketika bola api ini datang. Apalagi, bola api ini mirip seperti Chelyabinsk.

Menurut Plait, bola api Chelyabinsk meledak di atas Rusia pada Februari 2013 dengan kekuatan sekitar 45 ribu TNT. Energinya bisa memecahkan seluruh kaca dan melukai 1.000 orang.

Atmosfer menjaga Bumi dari kehancuran akibat puing kosmik ini. Karena, meski ukurannya sebesar ruang tamu dan meluncur dengan kecepatan 100 km per jam, atmosfer memecahkannya hingga jadi puing-puing, yang kemudian terbakar dan meledak sebelum sampai permukaan Bumi.

Tim Objek Dekat Bumi NASA baru mengetahui adanya bola api pada 6 Februari lalu ketika militer AS mengizinkannya. Tidak jelas apa yang telah militer rekam atau sebanyak apa informasi yang mereka punya.

Militer AS kabarnya tidak ingin banyak orang tahu dan mengawasi. Namun, tambah Plait, data bisa diambil dari observasi satelit, monitor seismik, atau mikrofon atmosfer. "Saya mengerti hasrat mereka untuk merahasiakan teknologi dan kemampuan mereka," kata Plait.

Ia mengatakan, untuk melakukan sesuatu demi ilmu pengetahuan, kita harus melakukannya sendiri. Untungnya, NASA dengan program objek dekat Buminya memperoleh banyak dana untuk melakukan penelitian.

Saat ini, tim hanya mendeteksi sekitar 10 persen dari semua asteroid dengan ukuran 140 meter dekat Bumi. "Semua asteroid Berpotensi Berbahaya yang telah diketahui memiliki kesempatan kurang dari 0,01 persen berdampak pada Bumi dalam 100 tahun ke depan," NASA melaporkan akhir tahun lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement