Selasa 19 Jan 2016 09:18 WIB

Mengapa Suara Air Bisa Sebabkan Kantuk?

Rep: Rossi Handayani/ Red: Dwi Murdaningsih
suara debur ombak di pantai (ilustrasi)
suara debur ombak di pantai (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Air terjun atau pantai merupakan beberapa lokasi favorit untuk berwisata. Tak melulu soal wisata, banyak orang begitu jatuh cinta suara debur ombak di laut, air yang mengalir di sungai dan hujan. Suara-suara itu membuat tenang dan membuat mengantuk. Namun, bagaimanakah suara aliran air tersebut memiliki efek kuat untuk menidurkan seseorang? Ilmuwan mungkin memiliki jawaban atas pertanyaan ini.

Jawaban dari bagian ini merupakan bagaimana otak kita menafsirkan suara yang didengar. Baik itu saat terjaga maupun saat terlelap tidur, baik dalam ancaman maupun tidak. Suara tertentu, seperti jeritan dan suara alarm yang keras cenderung sulit untuk diabaikan. Sedangkan suara lainnya seperti angin yang meniup pepohonan dan lainnya bisa saja kita abaikan.

"Ini lambat, suara mendesing adalah suara-suara yang tidak mengancam, itu mengapa mereka bekerja untuk menenangkan orang," kata profesor kesehatan biobehavioral di Pennsylvania State University, Orfeu Buxton, dilansir dari laman Livescience, Selasa (19/1).

Menurut dia, suara yang lembut bisa memberi efek menenangkan pada otak sehingga membuat mengantuk bahkan tertidur. Suara itu, kata dia seolah berbisik 'Jangan khawatir, jangan khawatir, jangan khawatir.'

Sementara suara keras umumnya, seperti berisik atau teriakan membuat seseorang untuk tidur. Bahkan dalam berbagai situasi dapat memicu sistem kewaspadaan ancaman yang diaktifkan otak, dan membuat kita tersentak dari tidur. Buxton mengatakan otak bisa merespons secara berbeda jenis-jenis suara. Terkadang, jenis suara itu mempengaruhi seseorang akan menimbulkan efek kantuk atau justru sebaliknya. Bukan semata-mata soal volume suara.

Secara tidak sadar, otak memiliki definisi mengenai suara yang mengancam dan tidak mengancam. Pada tahun 2012, Buxton melakukan penelitian mengenai hal ini. Dia membandingkan 'gangguan' yang dialami pada alarm yang ada di rumah sakit dengan suara kelikopter dan kemacetan. Responden yang terlibat dalam penelitian ini rupanya lebih merasa 'terancam' dengan alarm meskipun volumenya hanya 40 desibel dibandingkan dengan suara helikopter dan kemacetan yang mencapai 70 desibel.

"Jenis suara mendefinisikan jika Anda akan bangun atau tidak, mengontrol volume, karena informasi suara yang diproses oleh otak kita berbeda," kata Buxton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement