REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terus melakukan eksplorasi untuk memanfaatkan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Selama ini, Indonesia masih menggunakan bahan bakar gas, minyak bumi, dan batu bara sebagai energi pembangkit tenaga listrik. Proses pembangkit listrik konvensional tersebut memiliki efek samping yang tidak bersahabat dengan lingkungan.
Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) BATAN Agus Sumaryanto mengatakan, PLTN menjadi satu alternatif untuk memberbaiki lingkungan. Menurut dia, pembangkit listrik konvensional menghasilkan gas karbon dioksida. Kekhawatiran terbesar dari pembangkit listrik tersebut adalah hujan asam dan pemanasan global.
Rencananya, untuk memperkenalkan reaktor nuklir yang dapat menghasilkan listrik kepada masyarakat, BATAN akan membangun Reaktor Daya Eksperimental (RDE), sehingga masyarakat bisa mengetahui, merasakan, dan memahami bagaimana reaktor penghasilkan listrik (PLTN) tersebut. Kelak RDE ini menjadi semacam pilot plant untuk pembangunan PLTN berskala kecil atau sedang di berbagai daerah di Indonesia, terutama di bagian timur
“RDE yang akan dibangun oleh BATAN merupakan generasi keempat sehingga memiliki tingkat keselamatan yang jauh lebih tinggi daripada generasi sebelumnya,” jelas Agus, ditemui, Jumat (25/9).
Uranium yang akan digunakan sebagai bahan utama pun bukan berupa plat sehingga bahan bakar tersebut tidak akan meleleh seperti yang terjadi di Fukushima Jepang.
RDE yang dibangun BATAN adalah tipe High Temperature Gas Cooled Reactor (HTGR) sehingga apa yang terjadi pada Jepang tersebut tidak akan terjadi di Indonesia. Negara seperti Jerman, Rusia, Cina, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan sudah melakukan uji coba HTGR ini. Rencananya, RDE ini akan dibangun pada mulai tahun 2015 hingga 2019, akan tetapi pembangunan tersebut masih harus menunggu keputusan dari Presiden RI Joko Widodo.
"Nuklir itu lebih selamat, karena selalu dikontrol oleh semua orang. Sehingga jalannya PLTN ini akan benar-benar terus diawasi, baik secara nasional maupun internasional " ujar Agus.
Soal teknologi eksplorasi, menurut Agus, BATAN telah menguasai teknologi eksplorasi, penambangan dan pengolahan uranium. Dalam teknologi eksplorasi, BATAN sudah mulai mengerjakannya sejak tahun 1968 dan mulai menggandeng negara luar seperti Jerman, Prancis, dan Jepang untuk bekerja sama pada tahun 1973. BATAN sudah menguasai teknologi eksplorasi mandiri sejak tahun 1975 dan telah dilakukan di Kalimantan Barat, Sumatera, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Papua.
Saat ini, lokasi yang memungkinkan untuk dilakukan eksplorasi, penambangan dan pengolahan uranum berada di Kalan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. BATAN mulai fokus membangun penambangan dan pengolahan dalam skala pilot sejak tahun 1981, dan telah dikuasai teknologi tersebut pada tahun 1994. Untuk pengeboran yang saat ini masih dilakukan yaitu di Kalimantan Barat yang juga diketahui memiliki potensi uranium terbesar di Indonesia yaitu 26 ribu ton. Kemudian di Mamuju Sulawesi Barat, pengeboran juga masih sedang dilakukan, namun belum diketahui lebih detail memiliki berapa potensi uranium.
Agus menerangkan BATAN telah mampu mengolah mineral radioaktif monasit. Monasit merupakan sumber utama logam tanah jarang. Pada monasit selain terkandung logam tanah jarang juga mengandung uranium dan thorium, dan teknologi. BATAN telah mampu memisahkan semuanya. Logam tanah jarang bukanlah radioaktif akan tetapi karena berasal dari monasit yang merupakan salah satu mineral radioaktif, maka saat ini pengelolaannya menjadi tanggung jawab BATAN. Di luar negeri, logam tanah jarang sangat diminati.
Di Jepang, logam tanah jarang digunakan sebagai magnet dalam industri elektronik dan mesin. Kereta cepat Maglev di Jepang menggunakan logam tanah jarang. Berkaca dari negara lain, kata Agus, negara maju sudah lebih dulu melihat, bahwa energi tidak lagi hanya dihasilkan oleh listrik, minyak, batu bara, uranium, thorium, dan angin, melainkan logam tanah jarang sebagai energi strategis.
Sejak tahun 2012, Cina telah menghentikan ekspor logam tanah jarang yang dimilikinya karena akan digunakan sendiri. Oleh karena itu, BATAN tengah bergegas untuk membuat logam tanah jarang ini bukan saja sekadar dan sebatas penelitian yang berhenti di litbang lalu menjadi jurnal nasional, namun benar-benar dapat diaplikasikan pemanfaatannya.
Dewan Energi Nasional (DEN) juga mengusulkan dan menginginkan logam tanah jarang ini menjadi cadangan energi strategis pertahanan nasional. Saat ini, BATAN hanya mendapatkan anggaran dari APBN sebesar 0,08 persen atau sekitar 800 miliar. Keterbatasan dana ini membuat eksplorasi dalam satu tahun hanya bisa dilakukan untuk daerah Kalan di Kalimantan Barat dan Mamuju di Sulawesi Barat. (ADV)