Senin 10 Aug 2015 08:08 WIB

Kenapa Ransomware Marak di Australia?

Keamanan Siber. Ilustrasi
Foto: Reuters
Keamanan Siber. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Serangan ransomware dilaporkan semakin marak di Australia.  Jumlah korban semakin banyak dan beberapa dari mereka terpaksa membayar uang tebusan ribuan dolar ke peretas di luar negeri demi mendapatkan kembali file di komputer mereka yang disandera virus di internet tersebut.

Sydneys Morning Herald melaporkan, 'pemerasan' menggunakan program jahat tersebut memang terus meningkat sejak tahun lalu di Negeri Kanguru. Menurut catatan surat kabar tersebut, total uang tebusan yang dibayarkan korban dari Australia pada tahun 2014 bahkan mencapai 1 juta dolar AS.  

Fakta tak kalah mengejutkan, Australia pada kuartal pertama 2015 merupakan negara kedua yang paling banyak mendapat serangan ransomware setelah Amerika Serikat. Mengapa negara ini 'digemari' pemeras siber?

"Kebiasaan (korban) membayar tebusan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Australia jadi negara kedua yang paling sering dijadikan target (ransomware), " ungkap David Glance, director of UWA Centre for Software Practice di University of Western Australia, dilansir Sydneys Morning Herald, Senin (10/8).

Menurut Glance, serangan ransomware biasanya terjadi setelah program jahat (malware) terunduh secara tidak sadar lalu menginfeksi komputer korban. Malware ini bisa menyusup lewat email atau melalui situs web yang terinfeksi. Begitu ada di komputer, program jahat tersebut mengenkripsi seluruh dokumen pengguna, seperti file penting, foto, film, dan musik.

Setelah itu terjadi, biasanya akan muncul ancaman tertulis yang meminta pengguna membayar tebusan kalau ingin dokumen mereka yang sudah terkunci bisa diakses kembali. Korban pemerasan ini biasanya diminta membayar sekitar 405 dolar Amerika Serikat dan harus dalam mata uang digital bitcoin.

Banyak korban yang tidak ingin kehilangan dokumen penting mereka rela membayar tebusan. Padahal para pakar keamanan teknologi sering menyarankan kalau itu bukan opsi terbaik. Pasalnya, tidak bisa dijamin, setelah membayar mereka bisa memperoleh dokumen kembali.

"Meski ada beberapa serangan ransomware tidak terlalu canggih, dan secara teori bisa ditangani tanpa tebusan, kebanyakan pengguna tidak mampu menanggapinyan dengan tenang dan merasa hanya punya dua pilihan: bayar tebusan atau menghapus sistem operasi di komputer mereka," ungkap Glance.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement