REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Prof. DR. Djarot Wisnubroto mengatakan, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) memang membutuhkan biaya mahal tetapi produk yang dihasilkan yakni listrik lebih murah dari bahan bakar fosil.
''Biaya sangat variatif. Misalnya di Uni Emirat Arab, biaya untuk membangun PLTN mencapai Rp 50 triliun,'' ujar Djarot di Jakarta, Selasa (16/6). Akan tetapi, sambung dia, ada juga PLTN berbiaya murah.
Menurut Djarot, pembangunan PLTN merupakan investasi jangka panjang, yang mana membutuhkan waktu sedikitnya 10 tahun. Energi nuklir dapat menyumbang 40 hingga 60 gigawatt untuk memenuhi energi listrik nasional. "Akan tetapi biaya produksi listrik lebih murah."
Nuklir, sambung dia, memang pilihan terakhir namun kepentingan energi melesat pesat. "Nuklir memang mahal, tapi harga listrik kompetitif," terang dia.
Nuklir juga sudah mempertimbangkan penambangan dan limbahnya. Disinggung mengenai lambannya pembangunan PLTN, Djarot mengatakan semua itu tergantung Presiden Joko Widodo.
"Presiden memang yang harus memutuskan, karena nuklir membutuhkan biaya besar dan jangka panjang," kata dia.
BATAN mengaku tak menutup mata mengenai kekhawatiran masyarakat terhadap nuklir. ''Memang ada, tapi kita harus tahu tenaga ahli kita diakui internasional. Banyak tenaga ahli kita yang bekerja di lembaga internasional. Sebenarnya, kita siap dengan nuklir sejak 30 tahun yang lalu,'' kata dia.