REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum cyber Margiono menyarankan Kementerian Komunikasi dan Informatika menggunakan arsitektur teknologi daripada melakukan pemblokiran pada situs yang dianggap radikal.
"Lebih baik situs yang berisi konten negatif dibikin lambat saat diakses, atau misalnya server down saat dibuka tiga kali. Seperti itulah, yang membuat pembukanya enggan membuka. Arsitektur teknologi seperti itu lebih efektif," kata Margiono di Kantor AJI Jakarta, Jakarta, Senin Malam.
Pendiri Indonesia Online Advocacy itu menilai pemblokiran situs yang dinilai berkonten negatif tidak efektif karena pemilik situs dapat membuat situs baru dengan mudah. Selain itu, ia berpendapat tidak ada sistem pemblokiran yang sempurna, 'overblock' dan 'underblock' selalu terjadi di hampir semua negara.
"Seringnya pemerintah memilih 'overblock' karena lebih baik menutup situs tidak bersalah lalu diluncurkan lagi daripada mengambil resiko sudah menyebar. Memang di mana pun tidak pernah ada pemblokiran yang pas," ujar dia.
Selain alasan efektivitas, ia mengatakan arsitektur teknologi diperlukan karena informasi yang menyebar di internet sangat cepat sehingga arsitektur teknologi dibutuhkan sebagai langkah pencegahan informasi negatif terlanjur menyebar luas.
Untuk menerapkan arsitektur teknologi, ujar dia, diperlukan payung hukum yang jelas agar pelaksanaannya berjalan dengan baik. Ia juga menyarankan Kominfo melakukan kategorisasi konten positif dan negatif agar jelas mana situs yang legal dan ilegal.
"Kominfo harus melakukan kategorisasi konten positif dan negatif yang legal. Konten negatif pun belum tentu ilegal, jadi kategorisasi juga lebih rinci," ucap dia.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga pernah meminta kebijakan pemblokiran 22 situs dicabut karena pemblokiran dilakukan tanpa melalui mekanisme yang ada dan tanpa didasari aturan perundang-undangan yang berlaku.
Fadli Zon mengatakan seharusnya pemerintah melakukan konsultasi dengan para ahli, cendikiawan dan organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia sebelum melakukan pemblokiran.