Rabu 19 Nov 2014 12:01 WIB

Indonesia Kebut Broadband Plan 2019

Rep: C69/ Red: Julkifli Marbun
Jaringan Telekomunikasi
Foto: Antara
Jaringan Telekomunikasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar dua tahun lalu konsep Global Broadband Ecosystem yang dibangun Broadband Comission dari UNESCO dan ITU dikemukakan. Komitmen global ini menyatakan bahwa di tahun 2015 nanti, semua negara harus sudah memiliki rencana pembangunan broadband (pita lebar). Mereka harus memiliki strategi untuk memasukkan broadband sebagai bagian dari universal acces.

Di Indonesia sendiri, Rencana Pembangunan Pita Lebar baru saja diluncurkan sekitar bulan September lalu. Pada 18 sepetember, presiden mengeluarkan Perpres yang memberikan arah dan panduan strategis dalam percepatan dan perluasan pengembangan broadband.

Broadband di sini didefinisikan sebagai akses percepatan internet dengan jaminan konektivitas yang selalu tersambung. Jaringan broadband juga harus terjamin ketahanan dan keamanan informasinya. Selain itu juga akses ini mencakup kemampuan triple play untuk layanan voice, video dan internet di broadcast melalui jaringan broadband. Hal itu dengan kecepatan minimal 2 mbps untuk fix broadband, dan 1 mbps untuk mobile broadband.

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Dirjen Energi, Telekomunikasi, dan Informasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Mira tayyiba, mengatakan waktu lima tahun ke depan menjadi krusial. Indonesia harus segera keluar dari predikat negara berpendapatan menengah. 

Di sini, pembangunan pita lebar Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan pita lebar juga diyakini akan meningkatkan daya saing bangsa dan kualitas hidup masyarakat.

Saat ini bisa dikatakan layanan seluler telah merata di Indonesia. Namun, nyatanya itu belum cukup. Mira menilai yang diperlukan bukan hanya 2G atau 3G. “Kini banyak orang sudah membicarakan 4G. Jadi, pita lebar kita masih terbatas,” tegasnya pada acara Dialog Nasional dengan tema “Inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pelayanan Publik Berbasis Eletronik” di Auditorium Kantor Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa hari lalu..

Melihat itu, Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) yang ditargetkan hingga 2019 ini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rencana dan strategi pembangunan nasional. “Ketersediaan akses internet berkecepatan tinggi atau pita lebar, adalah jalan tol informasi ini menjadi mutlak diperlukan,” katanya lagi.

Menurut Mira, akses pita lebar akan memungkinkan penyediaan, pengolahan, dan pendistribusian informasi secara lebih cepat, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, informasi ini nantinya tidak kehilangan nilai. Bahkan dengan akses cepat dapat menciptakan nilai tambah bagi penggunanya.

Sementara, ia menilai kenyataannya penggunaan TIK khususnya pitalebar oleh sektor publik masih belum optimal. Meski memang pemanfaatan TIK di beberapa sektor sudah sangat baik, sebagian besar instansi pemerintah masih menggunakan TIK hanya untuk kegiatan pendukung. Hal itu seperti kegiatan administrasi.

Menurut Mira, hal ini tentunya sangat disayangkan. Pasalnya, rata-rata belanja TIK tahunan kementerian atau lembaga pemerintahan mencapai Rp 4,5 triliun. Hal itu sebagaimana dicatat oleh Kementerian Keuangan selama periode 2010-2014. “Ini karena masing-masing mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri, belum ada standard,” kata dia yang juga menjabat Kepala Sub Direktorat Pos Telekomuniasi dan Informatika itu.

Padahal pembangunan pita lebar diharapkan dilakukan di seluruh aspek pembangunan secara holistik. Di sini sebagai langkah awal, pemerintah telah menentukan lima sektor prioritas pembangunan pita lebar Indonesia. Lima sektor yang dimaksud yaitu E-Pemerintahan (E-Government), E-Pendidikan, E-Kesehatan, E-Logistik, dan E-Pengadaan.

Kelima sektor prioritas ini dianggap mewakili keterhubungan pemerintah dengan pihak lainnya, yaitu dunia usaha dan masyarakat. Di sini, E-Pemerintahan menggambarkan keterhubungan antar instansi pemerintah, E-Pendidikan dan E-Kesehatan mewakili keterhubungan pemerintah dengan masyarakat, sedangkan E-Logistik dan E-Pengadaan mewakili keterhubungan pemerintah dengan dunia usaha.

Maka, pembangunan pita lebar ini, bisa dikatakan sejalan dengan strategi dan kebijakan nasional serta visi dan misi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Itu khususnya dalam meningkatkan pelayanan publik.

Di balik itu, menurut Mira pembangunan pita lebar ini sesungguhnya masih menempuh berbagai permasalahan. Ia menjelaskan berdasarkan analisis World Economic Forum, ternyata ada dua permasalahan yang selalu ada di Indonesia. Keduanya adalah masalah infrastrutur dan tidak efisiennya birokrasi pemerintahan.

Kata dia, infrastrutur pita lebar di Indonesia saat ini belum memadai. E-Pendidikan hingga saat ini baru mencapai 22 persen, atau setara dengan 528 dari total sekitar 2000-an sekolah. Sedang E-Pemerintahan baru mencapai 12 persen. Untuk kesehatan dan logistik masing-masing baru 17 persen dan 16 persen.

Sementara berdasarkan data tahun 2013, untuk fixed broadband di Indonesia baru mencapai 15 persen rumah tangga (1Mbps), 30 persen gedung (100 Mbps), dan 5 persen populasi. Sedang untuk mobile broadband baru mencapai 12 persen populasi (512 kbps).

Ini tentu masih jauh dari target. Ke depannya, di tahun 2019 ditargetkan pada pengembangan infrastruktur urban akan mencapai fixed broadband sebanyak 71% rumah tangga (20Mbps), 100% gedung (1 Gbps), dan 30% populasi. Sedang untuk mobile broadband akan dicapai jumlah 100% populasi (1 Mbps).

Untuk infrastruktur di kawasan rural, fixed broadband  diharap dapat diadopsi sebanyak 49% rumah  tangga (10Mbps) dan 6% populasi. Sementara, mobile broadband ditargetkan mencapai jumlah penetrasi sebanyak 52% populasi (1 Mbps).

Memang rencananya, target pencapaian diklasifikasi berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Dalam hal ini daerah dengan penduduk terpadat lebih diprioritaskan. Hal yang sama diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI, Rudiantara. Ia menganggap pembangunan pita lebar ini memang harus tersegmentasi. Ini terkait masalah geografi di Indonesia.

Ia menjelaskan, seperti misalnya di daerah perkotaan (urban) target pemasangan akan berbeda dengan daerah rural. Hal itu melihat tingkat kepadatan penduduk, kemungkinan kepadatan trafik, dan sistem pemasangan infrastruktur yang berbeda di antara keduanya.

Di perkotaan sendiri, menurutnya akan diberi target secara spesifik. “Seperti daerah ekonomi, misalnya di M. H.Thamrin atau di daerah Sudirman, ini kan segitiga emas, pasti berbeda,” paparnya.

Tahun ini adalah tahun eksekusi hingga target tercapai di tahun 2019. Dalam hal ini, menurut Rudi, pembangunan infrastruktur memang menjadi fokus pemerintah pusat dalam mewujudkan pemasangan pita lebar di Indonesia. Mengenai aplikasinya sendiri, pihak Pemda dari beberapa daerah telah mengambil inisiatif.

Seperti contohnya pilot project untuk pembangunan smart city yang diusung beberapa wilayah. Pemda bahkan sudah mulai mempersiapkan sumber dayanya. “Kami meng-encourage layer atasnya, yaitu infrastruktur. Strateginya makin banyak Pemda yang lakukan uji coba makin bagus,” katanya.

Selain dengan Pemda, pengembangan aplikasi, katanya, juga akan ditangani oleh pihak swasta. Pihak operator, juga ditawarkan dalam hal pembangunan infrastruktur untuk broadband.

Dalam hal ini setiap operator memiliki konsep pembangunannya masing-masing. Melihat ini, dari segi infrastruktur akan dibuat supaya lebih terarah dan bersinergi. Hal ini menyangkut konektivitas akses ke semua lini.

Sementara dalam hal aplikasi, ini dianggap lebih fleksibel. Namun, nantinya akan ada standardisasi dan keseragaman identitas di antara para penyelenggara. 

Kesulitannya, menurut Rudi adalah dari sisi geografis Indonesia. Ia melihat itu dalam hal cakupan sinyal hingga bisa menjangkau seluruh negara yang berbentuk kepulauan ini. “Dari sisi coverage itu susah, Indonesia ini kepualauan, kalau kita seperti Eropa daratan itu lebih mudah saya ngukurnya,” katanya.

Mengomentari ini, Pengamat ICT, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Setyanto P. Santosa, setuju bahwa kualitas peayanan harus ditekan, dalam hal ini infrastruktur. Menurutnya pemerintah pusat harus bekerja sama dengan Pemda. Hal ini mengingat Pemda adalah pemilik lahan untuk menerapkan pembangunan infrastruktur pita lebar.

Sarannya, tugas pemerintah saat ini adalah menciptkan iklim kerja sama yang nyaman. Baik itu untuk Pemda maupun pihak swasta atau BUMN. “Nggak ada uang kan? Harus ada model untuk melakukan itu, model kerjasamanya bagaimana, misalnya dengan Pemda yang sedang membuat konsep Smart City,” imbuhnya.

Dalam hal ini, sebagai pihak yang telah merekomendasikan dokumen RPI, Mastel melihat pemerintah harus segera menangani kendala untuk menerapkan teknologi ini. Seperti soal cakupan sinyal yang merata bagi seluruh negeri, juga soal kerja sama dengan operator selular.

Pasalnya selama ini, ia menilai, pemerintah terlalu banyak membuat strategi, tetpi lemah ketika mengimplementasi. “Siapkan dulu lah infrastruktur yang sudah ada, ini biar bisa langsung jalan, jangan kaya dulu E-KTP, bendanya udah pada bikin semua, tapi nggak ada mesin pembacanya, percuma,” cetusnya.

Ditambah lagi melihat ketersediaan SDM saat ini. Setyanto mengatakan berdasarkan data dari DIKTI, hanya 10 persen jumlah mahasiswa dari Jurusan Teknologi Informatika dibanding jumlah seluruh mahasiswa. Jika ini tidak diakali, menurutnya, Indonesia tetap akan selalu tertinggal.

Belum lagi soal harga layanan yang masih tinggi. Menurut data Evaluasi Kinerja Proyek Pembangunan (EKPP) dari Bappenas harga potensi 512 Mb di Indonesia mencapai Rp 600ribu. Di sini lain data Badan Pusat Statistik (BPS) menungkapkan pendapatan per bulan masyarakat Indonesia rata-rata hanya Rp 2,5juta.

“Jadi, itu 23 persennya. Melihat ini, saat kita ingin mendorong perkembangan broadband syaratnya harus affordable dulu dan ini masih belum tercapai,” tutur Mira kembali.

Di sini selain sasaran pembangunan, menurut Mira, harga layanan juga menjadi tujuan perkembangan ke depan. Pasalnya, berdasarkan Broadband Commission harga layanan harus ditekan menjadi 5 persen rata-rata pendapatan bulanan. “Sebenarnya ini harus tercapai di tahun  2015, tetapi kita tahu ini sulit, jadi kita tetapkan akan tercapai di tahun 2019 sebagai sasaran adopsinya,” tambahnya.

Ditambah juga permasalahan krisis spetrum. Sejumlah 95 persen akses komunikasi di Indonesia saat ini merupakan wireless base. Maka, tidak heran jika sedang melakukan panggilan melalui komunikasi selular seringkali jaringan sibuk. Ini, kata Mira, adalah kondisi yang sama dengan 10 tahun yang lalu. Hingga akhirnya Kominfo pun menghitung, hingga tahun 2020, Indonesia membutuhkan tambahan akes jaringan sampai dengan 500 Mb.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement