Senin 06 Jan 2014 17:01 WIB

Berkat Teknologi, 11 Desa Tak Terpengaruh Harga Elpiji

Pekerja mengangkut tabung 12 kilogram berisi liquefied petroleum gas (LPG atau elpiji).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Pekerja mengangkut tabung 12 kilogram berisi liquefied petroleum gas (LPG atau elpiji).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 11 desa di Kecamatan Sakra Barat, Lombok, Nusa Tenggara Barat, kini tidak terpengaruh "hiruk pikuk" kenaikan harga elpiji setelah berhasil mengembangkan energi biogas dalam setahun terakhir.

"Kami dalam setahun ini menggunakan energi bio gas secara gratis berasal dari kotoran sapi," kata Haji  Saleh, peternak sapi dari Desa Rensing, Sakra Barat, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin.

Menurut Saleh, sejak menggunakan biogas masyarakat di Rensing tidak lagi pusing dengan belanja elpiji.

"Uang yang biasanya kami gunakan untuk membeli gas bisa dipakai keperluan anak sekolah," kata Saleh.

Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai salah satu sentra pengembangan sapi. Setiap bulan NTB mencatat surplus 59.000 ekor. Populasi sapi yang tinggi di daerah ini awalnya memicu persoalan kesehatan akibat limbah kotoran dan polusi bau.

Menurut Saleh, rata-rata ternak sapi mengeluarkan kotoran 4-6 kg perekor perhari. Dengan populasi sapi sekitar 1 juta ekor, artinya ada 4-6 juta kg kotoran sapi per hari di NTB.

Tak heran jika penyakit saluran pernafasan, kulit dan diare sangat sering menyerang warga di Sakra Barat yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi.

"Dahulu setiap masuk ke gerbang desa, bau kotoran sapi akan langsung menyengat," kata Saleh yang pernah bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Kondisi lingkungan yang tidak sehat itu berubah setelah Saleh bertemu dengan H. Lalu Yusuf, tokoh masyarakat yang juga mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2004-2009 dari NTB.

Yusuf memperkenalkan teknologi terapan dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma (PSL-USD), Yogyakarta, untuk mengubah kotoran menjadi energi.

"Awalnya tidak mudah mengenalkan teknologi ini kepada warga. Ketika kami menggali lubang digester di depan rumahnya untuk mengolah kotoran sapi menjadi sumber energi, kami dianggap gila oleh para tetangganya," ujar Lalu Yusuf.

Namun, pandangan negatif tersebut berubah setelah instalasi pengolah kotoran sapi tersebut terbukti menghasilkan gas yang bisa digunakan untuk memasak.

Apalagi, Haji Saleh juga mengalirkan gas ke rumah tetangganya. Kini rumah Haji Saleh selalu ramai dikunjungi warga dari berbagai desa yang ingin belajar teknologi serupa.

Sejak dirintis awal April 2013 saat ini sudah ada 11 digester di Kecamatan Sakra Barat, Lombok Timur yang menggunakan teknologi bio gas.

Menurut Kristio Budiasmoro, peneliti bidang 'waste management' dan pendidikan lingkungan PSL-USD, program biogas sebenarnya sudah dicanangkan pemerintah sejak 1980-an, tetapi hingga kini belum efektif dan optimal.

"Digester biogas ini merupakan adopsi dari teknologi Jepang yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga bisa diterapkan dengan lebih praktis oleh warga desa," ungkapnya.

Teknologi digester ini bisa memproses secara langsung kotoran sapi basah menjadi gas untuk memasak, sehingga dapat menggantikan pemakaian gas elpiji.

"Biaya pembuatan satu instalasi digester sekitar Rp7,5 juta - Rp10 juta. Pada umumnya, sebuah digester berukuran 3 meter kali 6 meter dengan kedalaman 2-3 meter. Ukuran dan biaya pembuatan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan ketersediaan hewan ternak," ujar dia.

Kristio menjelaskan proses pembuatannya yakni pada tahap awal lubang digester diisi 800 kg atau sekitar 6 kubik kotoran sapi, setelah itu bisa diisi sekitar 20 kg kotoran dari 4-5 ekor sapi.

Sepanjang masih ada kotoran sapi maka digester akan menghasilkan gas yang secara terus menerus bisa dimanfaatkan oleh warga. Tidak hanya untuk memasak tapi juga lampu untuk penerangan rumah.

Selain sebagai sumber energi pengganti gas elpiji, instalasi pengolah kotoran sapi ini juga menghasilkan pupuk dari sisa pengolahan kotoran sapi. Pupuk organik ini bahkan bisa dijual dengan harga Rp600 per kg.

"Tidak hanya menghemat biaya membeli elpiji, kami juga bisa mendapat pemasukan dari berjualan pupuk. Ampas dari digester ini juga bisa digunakan sebagai sumber pakan ternak," kata Saleh.

Kristio Budiasmoro menerangkan selain mengenalkan teknologi terapan untuk mengolah kotoran sapi, PLS-USD juga mengenalkan teknologi sederhana untuk menghilangkan bau tidak sedap yang meruap dari kandang sapi.

Teknologi tersebut adalah pembuatan cairan yang berasal fermentasi sisa buah-buahan. "Dengan cairan hasil fermentasi tersebut kandang sapi yang semula berbau tidak sedap menjadi beraroma buah," ujarnya.

Menurut Lalu Yusuf, teknologi terapan ini bisa menjadi solusi dari program swasembada sapi di daerahnya. Budaya warga dalam beternak sapi menjadi secara sehat dan ramah lingkungan. Ekonomi warga juga semakin meningkat meskipun harga gas elpiji yang naik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement