Rabu 11 Dec 2013 17:27 WIB

DPR Akan Klarifikasi Menkominfo Soal Merger Axis-XL

Axis
Foto: Axis
Axis

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sejumlah anggota DPR akan meminta klarifikasi Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Tifatul Sembiring karena memberikan persetujuan atas aksi merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis).

Anggota DPR dari Komisi I Tantowi Yahya secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.

"Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata," kata Tantowi dalam diskusi “Apakah Aksi Merger XL-Axis Sesuai dengan Regulasi?” di Jakarta.

Menurut politisi dari Partai Golkar itu, frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan potensi sekadar pendapatan negara saja.  Dengan demikian masyarakat berhak menikmati layanan hingga ke pelosok.

Tantowi mengatakan, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas. Namun menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger  hanya untuk asset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.

Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi  tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.

Tantowi mengakui, dari sisi peraturan yang membawahinya terdapat ambigu. Dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri.

Meski peraturan membolehkan menteri untuk mengalihkan izin frekuensi, Tantowi menilai aspek kepentingan bangsa alias Merah Putih harusnya lebih dikedepankan, sehingga perlu dikonsultasikan dengan stakeholder lainnya. Karenanya, imbuh Tantowi, agar tidak berpotensi merugikan negara, seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola oleh operator memiliki komitmen mewujudkan inklusi telekomunikasi.

Ia mencurigai, frekuensi 1.800 Mhz ini kelak lebih banyak dimanfatkan oleh XL untuk menggelar LTE (long term evolution) sehingga memperkuat posisi XL untuk menggelar 4G,  yang akan memberikan operator Malaysia itu keunggulan pada layanan data.  Sekedar diketahui, banyak negara telah menggelar 4G di jaringan 1.800 Mhz, sebab dari segi ekosistemnya lebih matang ketimbang spektrum yang lain.

Senada dengan Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-PAN Chandra Tirta Wijaya mengatakan bahwa Menkominfo Tifatul Sembiring keliru dalam mengambil keputusan terkait merger XL-Axis. Untuk itu, Komisi I DPR lanjut dia, akan meminta Menkominfo klarifikasi kepada DPR.

“Merger antara XL-Axis tersebut berisiko merugikan negara, akibat peralihan frekuensi dari perusahaan Arab Saudi itu kepada perusahaan Malaysia itu. Penguasaan frekuensi kepada asing selama ini justru pemanfaatannya tidak maksimal,” tegas Chandra.

Menurut Chandra, industri seluler perlu ditata dengan lebih efisien, adil dan transparan, dengan berorientasi kemudahan konsumen. Alokasi frekuensi harus sesuai dengan ukuran dan daya jangkau masing-masing operator.

“Yang terjadi saat ini adalah ketidakadilan di industri dan adanya kepentingan korporasi yang membuat mereka mangkir untuk menepati komitmen modern licensing,” tukasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement