REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Fernan Rahadi
Siapa tak kenal gudeg? Makanan ini telah menjadi trademark Yogyakarta. Siapapun yang datang ke kota Budaya itu tak lengkap rasanya jika tak mencicip masakan tradisional yang satu ini.
Sayang, siapapun orang 'luar' yang singgah ke Jogja seringkali tak bisa membawa oleh-oleh gudeg untuk sanak saudaranya atau para kerabatnya di kota asal. Hal itu disebabkan makanan yang terdiri dari bahan dasar nangka muda dan santan itu hanya awet tidak lebih dari satu hari.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran para peneliti pangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk mengembangkan proses pengalengan terhadap gudeg sekitar tujuh tahun lalu.
"Kami melihat gudeg ini adalah makanan tradisional yang sangat istimewa. Sayangnya, jenis makanan ini tidak tahan lama," tutur Kepala Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK) LIPI, Hardi Julendra, kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Bukan perkara mudah melakukan pengalengan terhadap gudeg mengingat makanan tradisional ini terdiri dari berbagai macam bahan seperti ayam, telur, krecek, dan kacang-kacangan. Tantangannya adalah mencampurkan beragam makanan tersebut ke dalam satu kaleng.
"Alhamdulillah kita sudah melewati tahap itu dan kini gudeg kaleng kami sudah dikomersialkan," kata Hardi.
Dalam empat tahun terakhir ini unit pelaksana lapangan LIPI, dalam hal ini Koperasi LIPI Gading (Koliga) telah secara rutin melakukan produksi gudeg kaleng. Koliga bermitra dengan Grup Gudeg Bu Tjitro yang dikelola CV Citra Buana Sejahtera Yogyakarta. Kini, gudeg kaleng dengan merk Bu Tjitro pun bisa ditemui di berbagai outletnyayang terletak di Yogyakarta dan Jakarta.
Peneliti Pangan LIPI, Ir Mukhamad Angwar, menjelaskan tahap pertama dari proses pembuatan gudeg kaleng adalah memasak dengan cara sesuai dengan hasil riset yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam proses pemasakan tersebut, salah satu hal yang mesti dihindari adalah hasil masakan yang terlalu matang (overcooking).
"Kami harus menerapkan standar operasional prosedur supaya menghasilkan produk yang berkualitas, bermutu, dan sesuai persyaratan yang ditentukan konsumen," ujar lelaki asal Cirebon itu.
Masih sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), satu per satu dari bahan dari gudeg tersebut dimasukkan ke dalam kaleng yang telah steril. Kemudian, proses pengalengan memasuki tahap kedua yaitu proses penghampaan. Dalam tahap ini, gudeg dikukus dalam suhu 95 derajat Celsius selama kurang lebih 20 menit.
Setelah itu, ujar Angwar, kaleng-kaleng tersebut ditutup dan tahapan masuk ke tahap sterilisasi. Angwar menuturkan proses pengalengan gudeg Bu Tjitro dilakukan dengan cara fisika. "Pengalengan jenis ini tidak disertai dengan penambahan zat adiktif," katanya.
Pengalengan dengan cara fisika, tutur Angwar, adalah melalui proses sterilisasi gudeg di dalam kaleng. Proses ini mematikan para mikroba di dalam kaleng sehingga makanan nantinya memiliki daya simpan yang panjang. "Menurut hasil penelitian kami gudeg kaleng ini bisa awet hingga dua tahun meskipun yang tertulis dalam kaleng hanya setahun saja," katanya.
Sterilisasi tersebut dilakukan selama 20 menit pada suhu 121 derajat Celsius dengan tekanan sebesar 1,2 atm. Tidak sampai di situ, kaleng-kaleng tersebut kemudian dimasukkan ke dalam air dingin sebagai sebuah terapi kejut terhadap mikroba-mikroba yang tersisa. "Harapannya dengan penurunan suhu yang tajam, sisa-sisa mikroba tersebut akan pecah dan mati. Proses ini bernama pendinginan," katanya.
Setelah kaleng-kaleng tersebut dikeringkan, tiba saatnya proses terakhir yakni karantina. Proses ini berlangsung selama 14-15 hari untuk mengamati apakah terjadi perubahan atau tidak pada kaleng-kaleng tersebut. "Seandainya kaleng menggembung, itu tandanya proses tidak berhasil. Akan tetapi jika setelah 15 hari kaleng tidak mengalami perubahan maka berarti produk itu bisa dikatakan berhasil," kata Angwar.
Gudeg Bu Tjitro Sebagai Pelopor
Meskipun telah melakukan pengalengan terhadap berbagai makanan tradisional, termasuk gudeg, sejak 2004, baru gudeg kaleng Bu Tjitro yang telah dikomersialkan secara luas. Saat ini, Koliga telah memproduksi 10-50 ribu gudeg kaleng Bu Tjitro tiap bulannya dengan rincian sebanyak 2.700 setiap pekannya.
Pemilik Gudeg Bu Tjitro, Jatu Dwi Kumalasari, mengungkapkan awal mula ide menciptakan gudeg kaleng adalah karena keinginannya untuk menciptakan sebuah makanan cepat saji yang sehat. "Saya kira saat ini semua orang di dunia membutuhkan makanan cepat saji. Namun yang penting di sini adalah bagaimana masakan cepat saji itu tidak berbahaya bagi tubuh," katanya.
Kemudian, sekitar 2007 ia mengetahui adanya laboratium pengalengan makanan-makanan tradisional di BPPTK LIPI melalui internet. Dari situ, kerja sama dengan LIPI akhirnya terwujud pada 2009 dengan fokus mengalengkan gudeg buatannya yang telah dijual di berbagai tempat di Yogyakarta. Bukan perkara mudah, mengingat ia adalah orang pertama yang melakukan hal itu secara serius.
Dalam proses pembuatan gudeg kaleng tersebut, Jatu misalnya harus menggandakan pemakaian bumbu pada gudegnya. "Karena terdapat pemanasan dua kali maka rasanya menjadi berkurang. Oleh karena itu bumbu harus lebih banyak," katanya.
Belum lagi minimnya kendala sumber daya manusia. Hal tersebut membuat ia tidak bisa memenuhi besarnya permintaan dari para konsumen. "Sejak booming pada awal tahun ini, kami selalu kehabisan stok saat hari-hari besar seperti pada saat lebaran lalu, tuturnya.
Jatu saat ini tengah melakukan riset untuk menciptakan diferensiasi terhadap produknya. Sehingga nantinya akan terdapat berbagai macam rasa pada gudeg kaleng buatannya seperti gudeg mercon, gudeg pedas, dan gudeg blondo. Berkat gudeg kaleng, kini orang tak perlu lagi harus datang ke Jogja demi mencicip makanan khas kota pelajar itu.